Bayangin kamu lagi scroll Kompasiana atau medsos favoritmu, terus nemu video bayi monyet dipakaikan baju, dikasih susu botol, dan duduk di sofa rumah mewah. Lucu? Pasti banyak yang komen "gemes banget!" atau "mau pelihara juga ah!". Tapi tunggu dulu, pernah kepikiran nggak gimana caranya monyet itu bisa sampai di sana?
Di balik konten lucu dan atraksi jalanan "topeng monyet" yang dulu sering jadi tontonan, ada kisah penuh air mata. Monyet ekor panjang (MEP) dan beruk melampaui peran sebagai pelawak alami. Mereka dipisahkan dari induk, dirantai, dipaksa, bahkan disiksa demi bikin kita ketawa sebentar. Ironisnya, masih banyak orang menganggap ini hiburan biasa (Fobar, 2021).
Pernah nggak kamu kepikiran kalau bayi monyet yang lucu-lucu itu biasanya hasil perburuan liar? Iya, induknya bisa jadi dibunuh duluan supaya bayi bisa "dijual" sebagai peliharaan. Banyak akun medsos pamer monyet pakai baju atau diajak belanja, tapi di balik itu, mereka sedang kehilangan kebebasan alaminya. Menurut (Rahman, 2025) juga menegaskan kalau pemeliharaan primata di rumah berisiko merusak perilaku alami mereka dan menurunkan peluang hidup di alam liar.
Menurut catatan Profauna, menunjukkan bahwa sekitar 90% bayi primata yang diperdagangkan ilegal adalah yatim piatu karena induknya dibunuh pemburu. Proses penangkapan ini brutal banget, induk monyet yang melindungi anaknya sering kali terluka parah atau mati, meninggalkan bayi traumatis yang kemudian "dijinakkan" dengan cara kasar.
Kalau kamu lahir di kota besar, pasti pernah lihat monyet kecil pakai topeng, naik sepeda mini, atau jongkok layaknya manusia. Kedengarannya menghibur, tapi proses latihannya sadis: rantai melilit leher, makanan ditahan biar nurut, bahkan gigi dicabut supaya nggak bisa menggigit. Banyak monyet mati muda karena stres kronis. ANTARA News pernah mendokumentasikan kasus ini dengan bukti yang bikin kita ngerasa nggak tega.
Metode "pelatihan" topeng monyet ini brutal abis. Monyet muda dipaksa berdiri dengan kaki belakang selama berjam-jam, padahal tubuh mereka nggak dirancang untuk posisi itu. Akibatnya? Kelainan tulang belakang, kaki bengkok, dan nyeri kronis seumur hidup. Belum lagi mereka dikasih makanan yang salah, dan sering dikasih nasi putih doang atau makanan manusia yang bikin mereka malnutrisi. Rata-rata monyet topeng cuma bertahan hidup 3-5 tahun, padahal di alam liar mereka bisa hidup sampai 25 tahun. Itu artinya, hidup mereka dipangkas 80% cuma buat ngibur kita sebentar. Worth it nggak sih?
Selain pertunjukan jalanan, beruk sering dipaksa menjadi pekerja memetik kelapa di Sumatra. Meski terlihat "efisien", praktik ini jauh melampaui prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare). Mereka diikat, dipaksa manjat pohon, dan kehilangan kebebasan selamanya (Fobar, 2021).
Yang lebih shocking, beruk pekerja ini dilatih dengan metode yang sama kejamnya. Mereka dipaksa kerja 8-10 jam sehari, sering tanpa istirahat cukup. Kalau nolak atau capek, mereka dipukul atau nggak dikasih makan. People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) bahkan sampai boikot produk kelapa dari Thailand karena praktik ini.
Di Indonesia, meski nggak se-sistematis Thailand, praktek serupa masih ada di beberapa daerah. Beruk dipaksa panjat pohon kelapa tinggi tanpa pengaman, risiko jatuh dan mati tinggi banget. Dan yang bikin marah, hasil kerja keras mereka nggak dihargai, mereka cuma dikasih makan seadanya dan dikandangin kayak barang.
Kontak dekat manusia dan primata juga berisiko penularan penyakit (zoonosis). Penelitian (Daria, 2024) mencatat bahwa primata bisa menularkan herpes B, TBC, hingga hepatitis. Jadi, lucu-lucuan sebentar bisa berakibat serius bagi kesehatan manusia.
National Institutes of Health (NIH) bahkan ngeluarin warning khusus soal risiko ini. Herpes B virus dari monyet bisa fatal membuat manusia tingkat kematiannya mencapai 70% kalau nggak ditangani cepat. Selain itu, ada juga risiko penularan cacar monyet, salmonella, dan berbagai parasit yang berbahaya.