Mohon tunggu...
Suselo Suluhito
Suselo Suluhito Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Puasa Sunnah yang Menambah Devisa

10 Agustus 2013   18:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:27 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau ada yang mengamati pertumbuhan ekonomi Indonesia, pasti orang itu akan terkagum-kagum dengan kemajuannya. Ekonomi bangsa ini bisa tumbuh diatas 6 % selama 8 tahun berturut-turut(lompat tahun 2008 yang hanya 4%). Angka itu termasuk besar jika dibandingkan negara lain. Apalagi resesi global sejak 2008. Tahun ini saja, Amerika Serikat berkoar-koar tumbuh 1 %, sedangkan Jepang “ngos-ngosan” untuk bertahan di angka 0 %. Indonesia masih pede mematok 6 %!

Tapi, orang yang mengamati pertumubuhan itu juga akan juga pasti mendengar “alarm” devisa. Devisa Indonesia memang naik, tahun 2011 sekitar 120 Milyar US Dollar, naik 6 kali lipat dibandingkan 1998. Tapi tahun 2012 turun menjadi sekitar 110 Milyar US Dollar. Bahkan per 28 Juni 2013, anjlok menjadi 98 Milyar US Dollar. Kenapa turun padahal ekonomi Indonesia terus tumbuh?

Jika dianalogikan, devisa itu ibarat “dompet”nya Indonesia yang uangnya dipakai untuk “belanja”. Isi dompet itu akan bertambah seiring banyaknya turis asing yang belanja di sini, dan juga kiriman uang dari TKI. Tapi, isi dompet itu juga berkurang seiring banyaknya wisatawan kita yang jalan-jalan ke luar negeri. Dari sisi neraca perdagangan, isi dompet akan bertambah jika Indonesia mengekpor barang, tapi juga akan berkurang jika kita mengimpor barang.

Pentingkah devisa negara? Penting!

Tanpa devisa, kita tidak bisa impor barang-barang elektronik, seperti HP atau laptop. Devisa ini juga dipakai untuk belanja BBM agar kenalpot kendaraan kita bisa tetap mengepul.

Apakah jumlah devisa harus banyak? Harus!


Devisa ini bisa dijadikan “tameng” krisis ekonomi. Jika tahun 1997 yang jumlahnya sekitar 20 Miliyar US Dollar (katanya) hanya bisa menahan 6 bulan krisis ekonomi Asia(dan sialnya masa krisis lebih dari 6 bulan sehingga tahun 1998 Indonesia kolaps), maka 120 Miliyar US Dollar bisa menahan krisis bertahun-tahun, bahkan krisis global yang lebih besar dari krisis Asia sekalipun. Buktinya, sekarang tidak ada provinsi yang pertumbuhannya negatif. Lowongan pekerjaan masih sering digelar di berbagai kampus. Kursus LP3I juga masih bangga promosi lulusannya cepat dan mudah bekerja.

Bagaimana jika devisa kita sedikit? Negara mengalami krisis!

Gara-gara krisis global 2008, Tahun 2009 Timur Tengah dilanda wabah Arab Spring. Kekacauan dimana-mana, mulai dari Tunisia, Libya, Mesir, Suriah, Iran, sampai Yaman. Daerah sekitar Iraq maupun Afganistan tidak perlu disebut, karena sudah ricuh sebelum krisis global. Bahkan yang kata orang ekonominya fantastis, Turkey dan India pun mulai goncang.

Kenapa jumlah devisa tahun 2012 turun? Karena rakyat kita semakin kaya.

Gara-gara kaya, rakyat jadi konsumtif beli barang impor dan makin hobi safari ke luar negeri. Semakin kaya itu pertanda baik, negara ini berkembang dan rakyat makin sejahtera. Tapi juga tidak boleh terlena dengan kekayaan.

Masyarakat yang ingin ke luar negeri bisa dilihat secara fisik. Kuota 300 ribu jamaah haji Indonesia saja, orang harus ngantri 12 tahun sebelum berangkat. Jadi, setidak-tidaknya ada 300 ribu orang yang menghabiskan uangnya di luar negeri selama 1 bulan lebih, yang artinya devisa berkurang banyak. Dan ingat, itu akan berlanjut selama(setidaknya jika dihitung hari ini) 12 tahun! Itu belum terhitung yang umroh dan wisata ke negara selain Arab, jumlahnya mencapai 8 juta.

Neraca perdagangan yang net impor juga menyedot devisa. Tiga sektor yang paling besar impornya adalah BBM, penerbangan, dan barang elektronik. Tiga hal itu juga susah diotak-atik karena negara ini memang net impor minyak bumi, industri pesawat terbang belum kokoh, dan perusahaan elektroniknya masih taraf “merakit”, belum sampai level “membuat”.

Satu-satunya cara yang realistis adalah berhemat. Atau yang paling solutif tapi agak sulit adalah rakyat diminta untuk “puasa” sementara waktu. “Puasa” sampai Indonesia tidak menggantungkan energinya dari minyak bumi. “Puasa” sampai industri penerbangan bangkit lagi. Dan “puasa” sampai sampai rakyat bisa “membuat” alat-alat elektronik.

Bisakah rakyat Indonesia menjalankan “puasa” ini? Mungkin.

Secara teknis bisa, mengingat 150 juta rakyat Indonesia sekarang adalah kelas menengah. Sudah lebih dari setengah penduduk kita kuat ber-”puasa”, jumlah itu belum termasuk yang kelas atas. Tapi secara psikologis tidak mungkin, dari 150 juta kelas menengah, 120 jutanya berstatus “baru masuk” kelas menengah. Kelas menengah baru seperti itu tidak mungkin diminta untuk hidup hemat, mereka sudah lama hidup miskin dan baru sebentar merasakan hidup sejahtera. Itulah kenapa kampanye “earth hour” hanya berhasil di negara maju.

Di keluarga saya sendiri, saya sudah lama mengkampanyekan hidup hemat. Karena termasuk keluarga “baru masuk” kelas menengah, kampanye itu tidak pernah berhasil. Orang tua menjelaskannya dengan cukup logis. Jika umur hidup manusia adalah 60 tahun, maka saya “hanya” sempat miskin 1/4 umur, tidak menanggung beban ekonomi pula. Wajar kalau kuat ber-”puasa”. Sedangkan mereka merasakan 3/4 umur hidupnya dalam kondisi miskin, menanggung beban anak-anaknya pula. Mana mau sisa hidup yang tinggal 15 tahun itu merasakan miskin lagi? Dari situ saya berpikiran, kondisi seperti ini tidak hanya di keluarga saya saja, tapi juga di 120 juta orang menengah baru.

Bentuk “puasa” yang paling berhasil adalah bertindak efisien. Efisien dari sudut manapun. Dari sudut ekonomi misalnya, laptop yang saya pakai untuk mengetik notes ini, yang notabene terpaksa impor, diberi garansi pabrikan 2 tahun. Artinya kita bisa mengoptimalkan pemakaiannya selama 2 tahun, atau bahkan bisa menjadi sangat ekonomis jika bisa dipakai sampai 4 tahun, baru boleh ganti yang baru agar bisa “puasa” impor 1 laptop. Walaupun kenyataanya laptop didepan saya berumur 8 tahun dan belum diganti.

Di keluarga sendiri, hidup efisien berhasil, baik mulai dari mobil, HP, laptop, sampai AC, saya ijinkan untuk beli barang impor tapi juga saya paksa untuk diperlakukan seefisien mungkin. Karena berhasil, saya yakin akan berhasil juga untuk 120 juta kelas menengah baru lainnya. Bahkan lebih berhasil lagi jika dikemas dengan kata “produktif” karena orang selalu mengaitkan produktivitas dengan bertambahnya uang.

Memang secara agama “puasa” untuk hidup efisien seperti ini tidak ada tuntunan wajibnya dari Al Quran maupun Hadits. Bahkan mungkin dianggap bid'ah. Tapi, Allah Maha Tahu segala niat, tindakan, dan tujuan baik hamba-Nya. Allah juga Maha Adil untuk memutuskan “puasa” ini berpahala atau tidak. Jika puasa sunnah dijanjikan Allah tidak akan membuat hamba-Nya sakit, maka setidaknya “puasa” yang bisa menambah devisa ini juga mungkin tidak akan membuat Indonesia krisis ekonomi lagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun