Murid-Murid Dihukum Guru Piket
Ari terkejut ketika ia kembali dari kantor Dinas Pendidikan. Sejumlah murid kelasnya, kelas 7.6, dibariskan oleh guru piket di halaman kantor, di bawah terik matahari.
"Aduh, Nak. Lagi-lagi kalian. Ini kali ketiga aku melihat kalian dibariskan di depan kantor, dimarahi dan dihukum karena tidak ikut salat Zuhur berjemaah," gumam Ari dalam hati.
Wali kelas 7.6 itu menghela napas. Anak didiknya kembali mendapat hukuman, meskipun anak yang berbaris di halaman tidak selalu sama. Namun, ada beberapa di antaranya yang sudah tiga kali selalu berbaris di depan ruang guru dan di bawah terik matahari karena tidak ikut salat Zuhur berjemaah.
"Kelas kamu lagi, Yuk?" bisik Desi, rekan guru yang tadi bersama-sama pergi ke kantor Dinas Pendidikan menjelang pukul sebelas.
"Iya, Des. Sekali ini aku tertantang untuk menyelesaikan permasalahan ini. Akan aku terapkan disiplin positif kepada mereka. Mudah-mudahan bisa membuatnya tidak mengulangi perbuatannya," jawab Ari.
Kedua guru itu saling sebut nama karena hubungan keakraban. Bila di lingkungan kantor serta di depan murid-murid mereka, kata sapaan "Bu" atau "Ibu" selalu mendahului nama mereka masing-masing.
Belajar Bahasa Indonesia di Kelas
Keesokan harinya, Ari mengajar kelas 7.6. Ada jam pelajaran bahasa Indonesia di kelas yang juga ia menjadi wali kelasnya.
"Anak-anak, berapa orang kemarin yang ikut baris di depan kantor?" tanya Ari mengingatkan kejadian kemarin siang.
"Dua belas, Bu!" teriak anak-anak, terutama anak-anak perempuan. Ada nada mendukung apabila anak-anak lelaki yang tidak ikut salat Zuhur berjemaah dihukum.
"Saya melihat kemarin Anton ikut berbaris?" tanya Ari kepada muridnya yang berbadan besar bernama Anton.