Arwan mengangguk-angguk. "Tapi kalau warga nanya WA jam 9 malam, masa aku cuekin?"
"Bisa dijawab esok hari," kata Dito. "Kalau penting, mereka akan tunggu. Kalau nggak penting, justru kamu selamat dari stress."
Yusuf tersenyum. "Kamu ingat nggak waktu kamu pernah share foto jalan berlumpur, lalu sore harinya istri kamu upload status foto masakan, terus malamnya kamu pasang status quotes patah hati. Itu semua satu nomor."
"Parahnya," tambah Bima, "grup dinas ikut lihat. Lurahnya nanya, 'Mas Arwan ini kok kayak labil ya status WA-nya'."
Tawa pecah lagi. Arwan mengusap wajahnya. "Ya Allah... aku jadi bahan meme di forum internal, ya?"
"Sedikit," canda Dito. "Tapi jujur, ini bisa dihindari kalau kamu pisah nomor."
Arwan akhirnya menyeruput kopinya. "Oke, aku ngaku kalah. Kalian bener. Selama ini aku kira warga itu cuek. Tapi ternyata... semua orang menilai."
Yusuf tersenyum. "Nomor WA itu kayak seragam kita. Dari situ orang tahu kita ini siapa. Jadi nggak lucu kalau profil pendamping desa tapi fotonya anak kecil pakai topi kelinci."
"Apalagi namanya cuma 'WAN'. Klien simpan kontakmu jadi 'Wan Apaan'," celetuk Bima disambut tawa lebar.
Arwan tertawa sambil menggeleng. "Baiklah, mulai besok: foto profil pakai batik, nama lengkap, status inspiratif, dan WA dibagi dua. Deal?"
"Deal!" seru mereka serempak.