Bima langsung menyahut, "Walah Wan, kamu tuh pendamping desa. Wajahmu ya nomor WA-mu itu. Gimana orang desa mau percaya kamu profesional kalau tiap hari lihat status campur aduk?"
Yusuf mengangguk. "Apalagi kamu sering jadi narahubung pelatihan, jadi moderator forum RT-RW. WA kamu kayak kantor pelayanan berjalan."
Arwan mengangkat alis. "Tapi klienku ya cuma pemdes dan warga. Mereka nggak mikir sejauh itu, aku rasa."
"Justru itu," potong Dito. "Karena kamu berhadapan sama publik, maka kesan profesional harus dijaga. Warga desa pun sekarang tahu mana pendamping yang serius, mana yang suka forward hoaks."
Bima menimpali, "Aku tuh pernah lihat temanmu---sesama pendamping---WA-nya dua nomor. Satu buat warga dan rekan kerja, satu lagi buat keluarga dan grup alumni. Aman, nggak tumpang tindih."
Yusuf mengeluarkan HP-nya dan memperlihatkan WA Business miliknya. "Nih, lihat. Aku set jam kerja. Jam 8--17. Di luar itu, WA otomatis bales: 'Terima kasih, kami akan tanggapi esok hari.' Rapi, dan aku tetap bisa punya waktu istirahat."
Dito menambahkan, "Dan WA bisnis bisa punya katalog. Kamu bisa pajang program kerja, link dokumen, bahkan daftar pelatihan yang kamu handle. Mirip profil CV mini."
Arwan terlihat mulai tertarik. "Itu berarti aku bisa pasang link Google Form rekrut relawan, atau link PDF juknis, ya?"
"Bisa!" seru Bima. "Bahkan bisa auto-reply kalau ada yang nanya dokumen. Cukup ketik '/pelatihan' langsung bales dengan template jawaban."
"Tapi kan aku cuma punya satu HP," ragu Arwan.
"Lho, sekarang HP dua SIM itu biasa, Wan," kata Yusuf. "Nomor pribadi tetap di WA biasa. Nomor kerja di WA bisnis. Satu HP dua aplikasi."