Di lereng Gunung Garuda yang asri, Desa Rejo Makmur menyambut dengan kesunyian yang penuh kedamaian. Gemericik air terjun di kejauhan berpadu dengan angin sepoi-sepoi, membawa aroma daun basah dan bunga liar. Saya melangkah menuju rumah sahabat lama, Mbah Manten, mantan kepala desa yang kini menikmati hari tuanya bersama Mbah Putri.
Rumahnya sederhana, namun penuh kehangatan. Beranda yang terbuat dari bambu dihiasi kursi tua yang nyaman, tempat Mbah Manten duduk sambil melinting tembakau. Ketika melihat saya mendekat, senyumnya merekah seperti mentari sore yang hangat.
"Cah Bagus, lha kok tumben kamu mampir? Sudah lupa jalan ke sini, ya?" godanya dengan tawa kecil.
Saya tertawa, mendekatinya dan menjabat tangannya yang kasar namun kuat. "Waduh, Mbah, mana mungkin lupa. Tempat ini terlalu istimewa untuk dilupakan."
Mbah Putri keluar dari dapur, membawa secangkir kopi hitam dan sepiring singkong rebus serta mendoan yang masih mengepul. "Ayo, Cah Bagus, makan dulu. Sudah jauh-jauh ke sini, harus dicicipi suguhannya," katanya sambil tersenyum.
Saya duduk di kursi bambu yang berderit halus, menyeruput kopi dan menggigit mendoan hangat. Rasanya, suasana sore itu membawa saya kembali ke masa muda, ketika saya dan Mbah Manten berjuang bersama dalam pergerakan desa hingga lahirnya Undang-Undang Desa. Kami terpaut sepuluh tahun, namun semangat kami dulu sama: membangun desa dengan tangan sendiri.
Setelah beberapa obrolan ringan, saya memulai percakapan serius. "Mbah, menurut Mbah, pendamping desa di era Prabowo ini bagaimana, ya? Apa yang perlu dilakukan supaya programnya benar-benar bermanfaat?"
Mbah Manten menghela napas panjang, mengambil lintingan tembakau, dan menyalakannya perlahan. "Cah Bagus, kamu masih ingat nggak zaman Pak Harto dulu? Sarjana Penggerak Pembangunan Desa?" tanyanya sambil menatap saya.
Saya mengangguk, tersenyum kecil. "Ingat, Mbah. Mereka yang tinggal di desa, kerja langsung dengan warga. Tapi cuma digaji tiga tahun, kan?"
"Betul," jawab Mbah Manten mantap. "Setelah itu, mereka harus mandiri. Ada yang jadi pengusaha desa, perangkat desa, bahkan pegawai negeri. Karena itu, desa jadi nggak tergantung terus-terusan sama pendamping. Mereka belajar, berkembang, dan akhirnya berdiri sendiri."
Saya menyeruput kopi, meresapi penuturannya.
"Pendamping desa sekarang," lanjutnya, "kalau diposisikan seperti itu, akan lebih bermanfaat. Mereka harus jadi katalis, penggerak, bukan sekadar penyedia bantuan atau penghubung pemerintah. Desa harus diajarkan wirausaha, pengelolaan mandiri, dan kearifan lokal harus dijaga."
Mbah Putri ikut menimpali sambil tersenyum. "Betul itu, Cah Bagus. Kalau desa cuma diberi bantuan terus, kapan belajarnya? Pendamping desa harus bisa bikin warga jadi kreatif, bukan pasif."
Saya mengangguk, setuju dengan pendapat mereka. "Berarti, tugas utama pendamping desa bukan sekadar melaksanakan program, ya, Mbah? Tapi membantu desa menemukan potensinya sendiri."
Mbah Manten tersenyum puas. "Persis! Ingat, Cah Bagus, desa itu akar bangsa ini. Kalau akar kuat, pohon nggak akan mudah tumbang. Pendamping desa harus seperti pupuk: memperkuat akar, bukan malah bikin akar malas mencari nutrisi."
Langit mulai memerah, matahari perlahan tenggelam di balik Gunung Garuda. Angin sore menghembuskan udara dingin, namun obrolan kami menghangatkan hati.
Berlanjut sesi obrolan berikutnya yaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI