Terbangkan pesawat kertasmu. Biarkan melayang kemanapun angin membawanya. Bila beruntung ia akan terbawa mengitari langit dan melihat indahnya bangunan, pepohonan, aktivitas manusia di bawahnya. Atau bila keberuntungan tidak berpihak, ia terhempas di tanah dengan leluasa.
Tidak ada yang bisa memastikan akan ke mana angin membawa pesawat kertas itu. Tetapi bila tidak diterbangkan, tidak ada yang akan tahu ke mana akhir perjalanannya. Begitulah perjalanan kali ini mengajarkanku tentang artinya kerelaan melepaskan.
Anak kecil di boncengan motorku tidak berhenti menangis. Sudah puluhan kali ia berusaha menghirup udara dari hidungnya yang telah terpadati oleh cairan lendir akibat tangis. Ia menutup kaca helmnya berusaha menyembunyikan raungan kesedihan dalam dirinya. Tampak dari sepion, ia hanya menunduk. Kalaupun kadang menatap jalanan, matanya tetap kosong menerawang.
Barang bawaannya cukup banyak. Ada 1 tas kuletakkan di bagian depan motor. Sedangkan tas besar lain di punggungnya. Ada satu tas kecil juga diselempangkan di badannya. Terlihat ia sedang akan melakukan perjalanan panjang. Jika ia sedang berkunjung ke suatu tempat, tentu ia tidak sedang berkunjung barang 2 atau 3 hari.
Aku adalah bagian kecil dari perjalanannya. Sebelumnya, aku melihat anak kecil itu turun dari bus ditemani dengan seorang kakek dan satu lagi seorang pemuda.
“Bahar?” aku mencoba memanggil nama pemesan yang tertera di aplikasi.
“Iya, saya.” Benar perkiraanku tentu pemuda itulah yang bernama Bahar. Sebab tidak mungkin kakek atau anak kecil itu yang memesan dari aplikasi ojek online ini.
“Siapa yang akan naik, Kak?” tanyaku. Sebab, tidak mungkin mereka bertiga akan naik bersamaan.
“Anak kecil ini!”
Anak kecil itu berjalan perlahan menuju motor. Sang kakek membantu membawa salah satu tas dan kemudian meletakkan di bagian depan motor.