Saya menangis dalam peluknya. Imam imigran Aljazair itu mirip ayah. Dia berbagi kisah perjalanannya ke Portugal. Anaknya memilih bertahan di tanah kelahirannya.
"Kamu seperti anak saya. Kurus dan kecil. Saya rindu dengannya," tutur Imam masjid itu.
Saya tak berdaya menahan emosional. Menangis saat menulis. Judulnya: Bertemu Ayah di Rumah Ronaldo.
Dari sana saya diajak ke Mesquita Central de Lisboa untuk solat Jumat. Esok harinya. Diperkenalkan dengan imam besar. Saya lupa namanya.
Kamis, Januari 2023, giliran ayah pergi tanpa pamit. Pergi untuk selamanya. Dalam usia 83 tahun. Perjalanannya yang panjang terhenti. Innalillahi wainna ilahi rojiun...!
Orang yang saya hormati berpulang dengan tenang. Bibir ini terkunci. Tak ada kata yang bisa terucap. Hanya linangan air mata yang terurai.
Ayah, pergilah... selamat jalan. Tidurlah dengan nyenyak di sana. Suatu saat saya akan menyusulmu.
Kematian itu pasti, seperti perjalanan yang berhenti ketika waktu tiba. Kami akan merindukanmu, mengenang kebaikanmu, surat singkatmu- sampai saat waktu saya pun tiba.
Izinkan pesan itu saya wariskan kepada cucu dan buyutmu. Jangan takut salah jalan atau tersesat. Pasti ada setitik cahaya yang menuntun jalan.*
Suryansyah
Sekjen Siwo PWI Pusat