Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Tidurlah yang Nyenyak di Sana, Ayah!

13 Januari 2023   07:42 Diperbarui: 13 Januari 2023   07:58 1081 12
"Selamat belajar bung!" Pesan itu tertulis di secarik kertas. Besandar di pintu rumah kos. Tiga puluh empat tahun silam.

Pesan sederhana dari ayah. Tapi menyentuh ruang hati. Bergetar baca pesan singkat itu. Pesan yang tak terlupakan. Hingga hari ini.

Saya kos di Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sebelum pindah ke Lenteng Agung. Ketimbang bolak balik ke Kemayoran. Terlalu jauh. Menguras energi. Saya harus berbagi waktu: kuliah dan kerja.

Bukan gaya-gayaan seperti sinetron di tv. Saya ingin belajar mandiri. Biaya kuliah sendiri. Tak mau repotkan orang tua. Itu janji saya dalam hati.

Jatipadang, saya pikir berada di tengah. Pagi kuliah di Lenteng Agung 32 (LA). Siang mampir redaksi Tribun Olahraga di Jatinegara. Sore hingga dini hari mengais rizki di Barita Buana di Warung Buncit. Sebelum melompat ke Republika pada 1993.

Ayah yang mendorong saya jadi wartawan. Bukan pilihan saya. "Nanti ayah kenalin dengan Panda Nababan, Rorimpandey, Soedarjo, Nurhuda Adinur," kata ayah ketika itu.

Saya hanya diam. Tak paham ayah ngomong apa. Saya tak kenal nama-nama yang disebut. Meski waktu kecil suka diajak ke tempatnya bekerja di Sinar Harapan.

Saya tak tertarik dunia jurnalistik. Waktu SMA hanya dua pelajaran yang menurut saya menarik: kimia dan fisika. Walaupun tidak moncer juga. Biasa-biasa saja. Tapi senang aja rumus-rumus. Unik seperti isi TTS.

Usai lulus SMA 1988, saya kerja di Media Indonesia. Bukan wartawan. Itu juga didorong ayah. Meski harus ikut tes psikotes dan lainnya.

Dari sana saya kenal Nano Bramono, redaktur olahraga. Dia wartawan kesayangan Surya Paloh. Saya sering mampir di meja kerjanya. Suatu saat saya dipercaya Bramono menjadi Redpel di Taboid GO (sekitar awal tahun 2000-an) dan Progol (2009).

"Nggak enak jadi wartawan. Kamu lihat sendiri begini kerjanya. Gajinya nggak seberapa," tukas Bramono.

"Tapi, kalau mau jadi wartawan, kamu harus kuliah di IISIP Lenteng Agung. Bisa kerja juga disana," dia menyarankan.

Entah angin apa yang membawa saya menyambangi IISIP. Kampus pencetak wartawan. Uang semester Rp450.000. Persis gaji bulanan saya di Berita Buana setelah bertahan 8 bulan di Media Indonesia.

Ayah senang saya kuliah. Berharap bisa jadi wartawan. Ayah belikan mesin ketik dan kamera. Meski saya merasa salah jalan.

Pelan-pelan saya belajar menulis. Apa yang saya lihat dan rasakan. Cerpen pertama berjudul: Nasib Wartawan. Dimuat di Koran Jayakarta. Diantar ayah ambil honor Rp42.000.

Kemudian muncul tulisan saya di Tribun Olahraga: Dop dan Maradona.  Ayah kenalkan saya dengan Redaktur Pelaksana Pak Ponco Siswanto. Memasuki semester kedua saya kuliah.

Disanalah saya belajar jurnalistik dari dekat. Saya banyak mendapat kesempatan. Praktik langsung lapangan. Bagaimana memburu nara sumber, mencari angle dan membuat berita. Pembuktian teori dari kampus. Berkat ayah juga.

Tugas keluar kota atau keluar negeri saya selalu pamit dengan ayah. Berharap doa darinya. "Jangan lupa solat. Cari masjid sekalipun diluar negeri," cuma itu pesannya.

Suatu ketika saya tak pamit. Tugas ke Portugal liputan Piala Eropa 2004. Saya takut kualat. Takut terjadi sesuatu yang buruk.

Saya sempat nyasar ketika mencari masjid di negerinya Cristiano Ronaldo. Saya masuk ke wilayah zona hitam. Info itu saya peroleh dari imam masjid.

"Keluar dari sini kamu jalan lurus terus saja. Jangan tengok kanan-kiri. Ini daerah rawan," imbuhnya.

Saya menangis dalam peluknya. Imam imigran Aljazair itu mirip ayah. Dia berbagi kisah perjalanannya ke Portugal. Anaknya memilih bertahan di tanah kelahirannya.

"Kamu seperti anak saya. Kurus dan kecil. Saya rindu dengannya," tutur Imam masjid itu.

Saya tak berdaya menahan emosional. Menangis saat menulis. Judulnya: Bertemu Ayah di Rumah Ronaldo.

Dari sana saya diajak ke Mesquita Central de Lisboa untuk solat Jumat. Esok harinya. Diperkenalkan dengan imam besar. Saya lupa namanya.

Kamis, Januari 2023, giliran ayah pergi tanpa pamit. Pergi untuk selamanya. Dalam usia 83 tahun. Perjalanannya yang panjang terhenti. Innalillahi wainna ilahi rojiun...!

Orang yang saya hormati berpulang dengan tenang. Bibir ini terkunci. Tak ada kata yang bisa terucap. Hanya linangan air mata yang terurai.

Ayah, pergilah... selamat jalan. Tidurlah dengan nyenyak di sana. Suatu saat saya akan menyusulmu.

Kematian itu pasti, seperti perjalanan yang berhenti ketika waktu tiba. Kami akan merindukanmu, mengenang kebaikanmu, surat singkatmu- sampai saat waktu saya pun tiba.

Izinkan pesan itu saya wariskan kepada cucu dan buyutmu. Jangan takut salah jalan atau tersesat. Pasti ada setitik cahaya yang menuntun jalan.*

Suryansyah
Sekjen Siwo PWI Pusat

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun