Mohon tunggu...
Konsultan GCG Indonesia
Konsultan GCG Indonesia Mohon Tunggu... -

GCG untuk Indonesia Lebih Baik

Selanjutnya

Tutup

Money

Merubah Budaya BUMN: Komitmen Menjalankan GCG

9 Januari 2012   12:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:07 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tujuan awal mendirikan perusahaan negara dan nasionalisasi menurut Bung Karno adalah untuk mendorong perekonomian nasional. Secara historis, Indonesia mewarisi sekitar 600 perusahaan asing hasil dari sitaan atau nasionalisasi kepemilikan dari penjajah (belanda) mencakup perusahaan di bidang pertambangan, bisnis perdagangan, perbankan, asuransi, komunikasi dan konstruksi. Restrukturisasi pertama pada BUMN dilakukan dan menghasilkan 233 perusahaan BUMN.

Dalam perjalanannya, BUMN beroperasi dengan dukungan fasilitas penuh baik dari aspek modal, perlakuan maupun sektoral. Masyarakat sangat berharap mendapatkan manfaat dari keberadaan BUMN. Namun akibat dominannya peran negara menjadikan BUMN sebagai kepanjangan tangan penguasa yang sarat kepentingan politik. Sehingga menjadikan salah satu sebab mengapa BUMN tidak bisa berkembang sebagaimana layaknya badan usaha.

Menengok Budaya BUMN

Sebenarnya keberadaan BUMN sangat diuntungkan, karena memiliki kekuatan yang lebih baik dibandingkan perusahaan swasta pada umumnya. Jumlah dan nilai aset BUMN sangat besar, posisi dan bidang usaha cukup strategis, akses ke kekuasaan lebih besar, akses ke sumber pendanaan, khususnya bank pemerintah lebih besar dan perlakuan birokrasi berbeda dengan swasta.

Banyak pihak berpendapat bahwa suasana kerja di BUMN hangat dan kekeluargaan. Perilaku orangnya santun dan hormat satu sama lain, khususnya kepada para senior. Budaya unggah-ungguh sangat kental. Protokoler ketat dan ada perlakuan yang sangat khusus bagi pemimpin. Memiliki kebiasaan cenderung menghindari konflik yang dipicu oleh budaya senioritas yang kental. Berbeda dengan di swasta yaitu lebih terbiasa berbeda pendapat dan berani berargumen. Umumnya loyalitas yang terjadi lebih kepada atasan dibanding kepada perusahaan. Permasalahannya adalah apabila kinerja dan kredibilitas atasannya bagus, mungkin tidak jadi persoalan. Namun jika sebaliknya tentu menjadi persoalan tersendiri.

Anggapan masyarakat yang melekat selama ini, adalah budaya kerja di BUMN dipandang tidak kondusif, bersifat menunggu, tidak kreatif, tidak berpikir global, sangat birokratis, sangat sentralistis, dan struktur disusun tidak berdasarkan kompetensi. Proses bisnis BUMN kebanyakan belum teratur dan tidak teradministrasikan dengan baik. Melihat begitu kuat stigma buruk di BUMN maka BUMN harus didorong berubah. Sehingga diperlukan strategi yang tepat agar ketika melakukan perubahan tidak menimbulkan guncangan pada BUMN itu sendiri.

BUMN harus tetap dipertahankan sebagai agent of development, namun demikian BUMN juga dituntut dapat mampu berdiri sendiri sehingga pertumbuhan dan perkembangan BUMN dapat seperti organisasi profit yang mampu menyesuaikan diri dengan mekanisme pasar. Budaya kerja yang kurang baik di BUMN harus segera dibenahi. Agar bisa sukses dalam melakukan perubahan, pemimpin BUMN membutuhkan suasana yang kondusif. Dalam hal ini harus ada dukungan dari pemegang saham dan karyawan yang ada terutama orang-orang yang siap menjadi agen perubahan.

Dalam pembenahan BUMN, yang terpenting adalah, bagaimana corporate governance dapat dilaksanakan dengan baik dan benar sehingga mampu merubah budaya kurang baik menjadi sebaliknya. Harus jelas akan dibawa kemana arah BUMN sehingga diperlukan rencana strategis yang matang, pelaksanaan manajemen risiko yang baik serta didukung proses kontrol yang transparan.

Di BUMN biasanya penyampaian pendapat masih sangat struktural dan birokratis. Oleh karena itu pemimpin BUMN harus bisa dan bersedia menjadi role model. Harus bisa mengajak bawahan untuk berdiskusi dan komunikasi secara terbuka. Komunikasi harus dibuat mengalir, tidak kaku dan tidak terkesan feodal. Perlu didorong agar karyawan untuk berani mengungkapkan pemikirannya, jangan hanya ABS “asal bapak senang”.
Shareholders harus independen dalam memutuskan siapa yang berhak memimpin BUMN. Shareholders diharapkan dapat menempatkan orang di tempat yang tepat. Kalau memang CEO dinilai tidak layak karena prestasi Perusahaan menurun, shareholders bisa menggantinya tanpa ada rasa takut dari kelompok yang berpengaruh.

Sebaiknya pemimpin BUMN hanya bertanggung jawab pada shareholders. pemimpin BUMN hanya bisa dipanggil pada saat rapat umum pemegang saham. Tidak ada lagi kepentingan DPR memanggil sebagai pimpinan BUMN yang notabene sebagai profesional atau eksekutif dalam BUMN. DPR cukup memanggil pemegang sahamnya saja. Paling tidak, kehadiran pemimpin BUMN hanya sebagai pendukung.

Dalam hal kepintaran dan kecerdasan sebenarnya SDM BUMN tidak kalah dari orang-orang swasta. Namun yang terpenting adalah bagaimana membuka cara berpikir mereka agar menonjol jiwa entrepreneurship, profesionalisme, dan menjunjung tinggi budaya kerja good corporate governance.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun