Mohon tunggu...
Surya Al Bahar
Surya Al Bahar Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri surabaya

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif di organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Komisariat Unesa dan PAC. IPNU Kecamatan Glagah. Selain itu, kesehariannya sering menulis puisi, cerpen, dan opini untuk konsumsi sendiri dan aktif di beberapa kelompok diskusi, salah satunya kelompok diskusi Damar Asih. Selain di kompasiana, ia juga sering mengabadikan tulisannya di blog pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demokrasi dan Budaya Kultur Golongan

29 Mei 2018   01:59 Diperbarui: 29 Mei 2018   02:06 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : OS LAW Wordpress.com

Kenapa saya sering mengalami kebingungan ketika mendengar nama Demokrasi, apakah saya tidak paham atau pemahamanku tentang demokrasi salah. Setiap masuk kelas PKN (pendidikan kewarganegaraan) waktu sekolah dasar, Pak Guru selalu memberikan pengetahuan tentang demokrasi, sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Pak Guru juga bilang, demokrasi ini berfungsi sebagai landasan sistem bernegara, bersosial ala negara, dan sebagai tonggak berjalannya pemerintahan Indonesia, Negara ku tercinta.

Rakyat sebagai pemegang kunci kekuasaan tertinggi di Indonesia Dari semua aspirasi, pendapat, kenyataan yang mendasar mengenai kekuasaan, semuanya dikendalikan sepenuhnya oleh rakyat. Akan tetapi rakyat tentu tidak bisa berjalan sendiri untuk mengendalikan itu semua, oleh karena itu rakyat memilih seseorang yang dianggap layak mewakilinya di semua bidang tentang tata kelola negara, dari RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Wali Kota, gubernur, dan dari legislatif sampai ke eksekutif. Semuanya adalah kenyataan yang harus bisa dipercayai kalau mereka adalah pembantu rakyat di semua lini.

Ketika sudah berbicara mengenai pembantu, di situ ada sebuah rasa terwakili, ibarat dari sekian juta penduduk Indonesia, hanya ada beberapa dari mereka yang bisa mewakili rakyat untuk berbicara, melihat, mendukung, dan menyuarakan semua keluhan yang dirasakan oleh rakyat. Hanya manusia yang mengerti suara manusia, hanya binatang yang mengerti bahasa binatang, lain lagi dengan cerita Nabi Sulaiman as yang dianugerahi Allah SWT bisa berbicara dengan binatang. 

Kita apa, yang kita dengar dan pahami hanya suara manusia dengan manusia. Kalau mereka yang mewakili rakyat tidak bisa mendengar minimal suara dari mulut manusia, berarti kemanusiaan mereka bisa dipertanyakan. Atau ada indikasi lain mengenai kenapa mereka sampai tidak paham dengan suara saudaranya. Bisa jadi ada tendensi berupa apapun yang menyebabkan mereka seakan-akan dijahit kesadaran berpikirnya berlipat-lipat dari ujung ke ujungnya dengan benang yang begitu tebal.

Bahkan, saking tebalnya, benang itu sampai menjahit dan menutupi wajahnya. Benang tersebut berperan sebagai salah satu alat pemisah yang menghasilkan jarak antara manusia dengan kedudukannya. Bukan pada umumnya, benang yang seharusnya menjadi penyambung atau penutup kain yang bolong, justru benang itu terikat dan melilit dalam-dalam, menjerumus merasuk ke akar-akar hingga kesadaran mereka lenyap, sampai menjari-jari di hati nurani dan logika.

Kalau dibilang, itu memang sebuah permainan. Maksudnya ada sistem yang mengikat sangat kuat, mendasar, serta mengarungi segala bentuk kondisi yang menyangkut harkat dan martabat suatu bangsa. Letak harga diri untuk berkomitmen kepada bangsa sudah dipertaruhkan ke bangsanya sendiri. Tetapi, dengan sadar mereka meletakkan harga martabat dirinya dan negaranya di kaki mereka masing-masing sambil diinjak-injak, digerus kemunafikan jaji-janji konyol yang mereka buat sendiri.

Negara adalah cerminan refleksi kepada kelompok besar pemudanya. Baik dalam kaum cerdik, cendikia, intelektual, dan akademisi. Atau kaum-kaum pinggiran kota tua yang tak terlihat tapi mereka mempunyai peranan sangat penting kepada negara ini. Yang jelas, siapa yang bersuara, siapa yang bercerita, dia akan terlihat. 

Bukan yang tidak terlihat dia tidak bersuara. Hanya saja mereka sedikit dibungkam oleh bangunan-bangunan besar yang sengaja menutupi wajah-wajah mereka, menindas mulut-mulut mereka. Alhasil apa daya, mereka orang kecil, rakyat tertindas, para pemuda yang berharap kesejahteraan dan kebahagiaan. Seharusnya mereka dihibur hatinya, diwujudkan keinginannya. Malah digusur, dihujat, dan dicampakkan di mana-mana. Jangan salah sangka, revolusi justru dimulai dari yang bawah, karena untuk memulai yang atas akan mengubah dirinya sendiri, sedangkan yang bawah adalah pengubah kesadaran yang atas.

Kenapa untuk sebuah hal yang serius mereka sering mempermainkannya, sebaliknya, kenapa untuk hal yang bentuknya permainan dunia, justru mereka serius dalam melakukannya. Apakah sudah bobrok negeri ini. Di atas kaum-kaum intelektual tinggi, apakah sehina ini pendidikan di Indonesia, sampai-sampai menjadi ajang keburukan umat manusia.

Hal yang paling mendasar adalah kita sebagai kaum intelektual harus bisa sadar sesadar-sadarnya, rendah serendah-rendahnya untuk menyadari dan seharusnya sudah mengurut beberapa kesalahan dalam negara ini serta upaya-upaya perbaikannya. Kita jangan munafik terhadap diri sendiri, kadang-kadang ketika kita duduk di bangku pendidikan selalu berupaya mengkritik kebijakan sana-sini. 

Mendiskusikan berbagai masalah yang menimpa negera ini. dari berbagai kasus, dari korupsi hingga kekonyolan pejabat-pejabat negara dalam menyikapi sebuah permasalahan. Kita seakan-akan terlalu disibukkan dengan hal semacam itu. Tapi tanpa kalian sadari, kita ini lucu kok, waktu kuliah kita mengkritik, tapi ketika lulus, seharusnya kalian yang menjadi kaum revolusioner perubahan kebijakan negara yang anti pro rakyat menjadi pro rakyat, justru kau masuki sistem itu dan kalian sendiri yang asik bermain-main di sana. Setiap hari permainan kalian berbeda-beda. Bergantung dengan penghasilan dan konspirasi politik yang akan kalian lakukan bersama.

Saya baru sadar, ternyata kampus ini adalah miniatur sebuah pemerintahan negara. Di mana ada sistem yang memang diajarkan untuk mengurusi duplikat sebuah negara tersebut. Ada miniatur Eksekutif dan legislatifnya. Mereka mempunyai fungsi dan wilayah kekuasaan berbeda-beda. Lantas di mana letak kesalahan negara ini. Aktivis kampus yang dulunya pejuang rakyat, pejuang sosial. Tapi seakan-akan luntur sikap kendali sosialnya ketika ada bentuk nyata dari identitas yang patut mereka sombongkan dan puja-puja.

Yang dulu katanya anti imprealis dan kapitalis. Tapi banyak mereka alumni-alumni institusi pendidikan yang justru menjadi imperialis-imperialis kecil dan mencoba berubah menjadi kapitalis-kapitalis kecil tanpa peduli rakyat kecil. Ketika teori kekuasaan sudah menguasai sistem manusia dalam berkuasa, tidak ada yang tidak mungkin jika suatu golongan yang memperkasai sistem tersebut akan menguntungkan golongannya sendiri. Itu lumrah terjadi dalam kendali manusia. Ketika manusia sudah merasa mempunyai tingkat pegetahuan yang tinggi, maka dia akan menganggap orang lain akan berpengetahuan rendah dan cenderung menginginkan mempunyai golongan untuk diajak bekerja keras menguasai suatu keadaan sosial yang mereka inginkan.

Jangan salahkan orang yang mementingkan golongannya, tapi kalian sendiri juga mempunyai golongan. Itu sama halnya dengan kalian meyalahkan jeruk busuk yang membuat penyakit, tapi kalian sendiri berpotensi membuat penyakit juga. Yang paling penting adalah bagaimana membuat jeruk itu tidak busuk, salah satunya disimpan di kulkas, atau dihabiskan di awal jika memang tidak mempunyai alat untuk mengawetkan buahnya.

Kalau memang berniat untuk menghindari masalah seperti itu seminim mungkin. Buat satu golongan yang mencangkup semuanya, dari semua lini, semua lapisan masyarakat yang terdiri dari beberapa unsur dimensi sosial serta pemikirannya. Sepakati bahwa tidak ada unsur kepemihakan yang mampu membuat itu terpecah belah. 

Jika kalian mempunyai satu keinginan yang sama, yaitu mensejahterakan rakyat jika dalam lingkungan negara, mensejahterakan mahasiswa dalam lingkup kampus, kenapa kalian tidak membuat satu aliansi atau golongan besar yang di dalamnya memenuhi unsur kekeluargaan bersama, kepentingan bersama serta tujuan untuk menciptakan kesejahteraan bersama.

Tulisanku ini tulisan konyol, bahkan ideku bisa jadi sangat-sangat konyol. Saya hanya merasa sangat geram mendengar kabar-kabar yang beredar saat ini mengenai BEM U yang katanya hanya untuk satu golongan saja. Golongan atau tidak golongan, itu hanya sebuah dinamika politik yang berdialektika secara lumrah. Satu golongan menyalahkan golongan lain, ketika ada satu kesempatan untuk menyalahkan, maka ibarat martir itu akan terus menerus keluar sebelum keinginannya terpenuhi. 

Justru aku kasihan melihat mahasiswa yang tidak mempunyai golongan, dia bedikari melihat suasana perselisihan ya mungkin itu dianggapnya lucu. Mungkin juga bingung, sikapku harus seperti apa ketika menyikapi masalah seperti ini. Pahamilah kalau sebuah sistem yang besar akan dipegang oleh golongan yang mendominasi pula. Peran besar di Negara ini selalu dipegang oleh golongan-golongan besar. Tapi ada kalanya golongan akan berpecah-pecah menjadi beberapa golongan kecil juga yang nantinya pasti akan ada usaha untuk membesarkannya. Berpikirlah logis, realistis dan humanis.

Surabaya,

27 Mei 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun