Mohon tunggu...
Surya Al Bahar
Surya Al Bahar Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri surabaya

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif di organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Komisariat Unesa dan PAC. IPNU Kecamatan Glagah. Selain itu, kesehariannya sering menulis puisi, cerpen, dan opini untuk konsumsi sendiri dan aktif di beberapa kelompok diskusi, salah satunya kelompok diskusi Damar Asih. Selain di kompasiana, ia juga sering mengabadikan tulisannya di blog pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Perempuan Penyimpan Hutang

11 Oktober 2017   23:59 Diperbarui: 12 Oktober 2017   01:33 1663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia

Sepasang mata yang merah, memojokkan harapan di sela-sela jendala depan penjara yang indah. Penjara itu suci bagi sebagian orang yang mengakuinya. Pintunya, gordennya, kasurnya dan seisi rumahnya adalah butiran-butiran surga yang menjelma buah-buah surga. Di sisi lain dari itu semua. Aku sosok perempuan penyuka hujan. 

Bagiku hujan adalah air yang terlepas dari Tuhan untuk membersihkan keluh di tubuhku. Aku tidak menganggap diriku kotor, tapi mungkin aku diizinkan Tuhan untuk mengotorkan sedikit kesucian tubuhku dari sisa-sisa kemurahan hatinya. Setiap kehidupan menurutku adalah bimbang. Tidak ada barang yang kotor, yang ada hanya dia berada pada tempat yang tidak bersih.

Kelahiranku sangat tidak disangka, malam-malam tanpa kunang-kunang bersinar, rembulan dan segala bintang tak bisa menampakkan dirinya dengan seksama. Perempuan yang terlahir di tempat persinggahan bulan purnama. Bulan yang selalu diterima oleh langit kapanpun dia muncul. Tidak ada alam yang menolak kehadiran penghuninya. Alam semesta menerima semua makhluk dari persinggahan manapun. Semua perempuan selalu singgah dihadapan Tuhannya. Alam adalah buatan Tuhan, manusia buatan Tuhan. Segala kuasa yang lahir dan mati itu kebenaran sejatinya Tuhan.

Etika tidak pernah lepas dari masyarakat, aku lahir dari masyarakat. Baik dan burukku hanya ada pada tangan masyarakat. Aku bukanlah norma kesopanan, norma keadilan, norma kemanusiaan dan norma hati nurani kemanusiaan. Hidupku semuanya telah ku tanggalkan pada alat-alat mereka. Hidup maut ada pada Tuhan, tapi seakan-akan Tuhan menitipkan hidupku pada alat-alat benih mereka. Ketika aku menginginkan atas mati dan hidupku, aku hanya meminta kesungguhan mereka, berani tidak melukai diriku dengan kasih sayang dan cinta mereka. Tidak ada lelaki yang tidak mencintaiku, tidak ada lelaki yang tidak menyayangiku. 

Apa yang dia lakukan atas dasar cinta kepadaku. Aku hanya perempuan penabur benih cinta kepada manusia. Kehidupanku hanya lemah lembut, tidak ada kekerasan fisik yang berani menghujamku, sebab aku bukan penggawai negara yang tidak tau soal cinta. Penggawai negara kalau belajar cinta, silahkan datang kepadaku, aku kan mengajarkannya, bagaimana cinta itu bisa timbul dari kasih sayang dan kemauan.

Bagaimana aku tidak dibenci masyarakat, kehidupanku pemuas hasrat semestara. Menurutku Tidak ada yang lebih arif dari orang yang menemaniku tiap malam. 

Orang yang pertama menemaniku pada malam pertama adalah pacarku sendiri. Bahkan dia hanya aku jadikan sebagai batu lompatan untuk ke lelaki ke dua, ke tiga, ke empat dan seterusnya. Bukan soal pertama, ke dua atau ke tiga. Tapi yang aku lihat hanya mereka yang tidak bisa menjamin hidupku tapi terus selalu mengolok-olokkan aku disamping dia melupakan norma kemanusiaan yang melekat pada dirinya. Aku tidak menemukan hening di setiap malamku, aku menjajakan setiap hari apa yang aku punya. 

Aku tidak punya harta, jabatan, kemewahan bahkan barang-barang yang bisa aku jual belikan. Aku hanya punya cinta, aku menjual cinta, setiap orang yang datang kepadaku mereka akan merasa nyaman dengan segala bentuk yang keluar dari tubuhku. Soalnya aku menawarkan cinta, bukan identitas siapa aku.

Hari-hariku adalah malam. Siang hanyalah ilusi yang tak sanggup memberiku malam yang indah.  Malamku hanya kenangan yang akan aku kenang sepanjang hidupku sebagai manusia. Cukup hari ini saja badanku terasa loyo, aku yang biasa menemani beberapa lelaki disetiap malamnya, tapi untuk kali ini badanku menolak dengan lelah. Ku tutup pintu kamarku, aku tinggal di persinggahan jalan, kamarku bersih, terawat tanpa ada secerca kotoran yang menempel pada dinding kamarku.

 Malam itu aku sedikit merebahkan tubuhku di kasur yang aku beli dari hasil penjualan cintaku. Aku melihat cahaya mobil menerangi kamarku dari luar, nampak cahaya itu seperti cahaya mobil sedan yang mewah, sebab cahaya itu rendah, tidak menandakan kalau mobil itu besar. Aku intip dari jendela, ternyata yang keluar dari mobil itu adalah Pak Dayat. Saya kenal betul siapa dia, dia adalah seorang pejabat daerah setempat. Tiap minggu dia selalu mengajakku pergi dan bermalam denganku. Jadwalku tiap malam adalah dengannya. Jadi siapa yang mengajakku pada hari itu, aku tidak bisa. Karena Pak Dayat sudah memesan diriku sejak lama dan itu sudah menjadi rutinitas tersendiri.

"Tok tok tok" Suara pak Dayat mengetok pintu,

"Ohh, bapak. Silahkan masuk pak ..!" Sapaku dengan senyuman, tapi sebenarnya badanku ini sudah lelah tak bertenaga.

"Kamu kenapa kok kelihatannya lelah sekali" Dia masuk sambil matanya melihat ke arah bawah tubuhku. Karena pada waktu itu aku memakai celana pendek yang pendeknya agak sedikit ke atas.

"Badan saya agak terasa capek pak, aku butuh istirahat. Kalau boleh saya minta malam ini saya ingin tidur. tubuhku mulai tidak bisa diajak keluar saat ini Pak" Permintaanku dengan melemas.

"secapek itu kah dirimu Sar..??"

"Apa aku perlu mengantarmu ke rumah sakit..??" Tanya Pak Dayat.

"Tidak perlu pak, aku hanya butuh istirahat. Kemarin aku melayani banyak orang yang menginginkanku"

"Apapun yang terjadi kamu harus melayaniku Sar. Malam ini aku menginginkamu..??" Paksa Pak Dayat.

"Tidak bisa Pak. Tolong..!!!" Tolakanku dengan lembut.

Tanpa sadar dan tanpa pikir panjang, dia langsung menikamku dari belakang. Dia memaksaku untuk melayaninya. Yang aku kenal saat ini bukan Pak Dayat yang dulu, dia tidak pernah memaksaku seperti ini. diriku sudah capek, sudah lelah, tenaga yang ada pada tubuhku tidak bisa dipaksakan lagi. "Tolong Pak mengerti keadaanku" aku perempuan.

Aku manusia yang tidak punya kuasa mengembalikan gairah tubuhku sendiri. Tapi semua cara untuk menolak tidak bisa di kendalikan. Aku dipaksa untuk melayaninya. Ini bukan cinta. Ini bukan lemah lembut. Aku tidak bisa melakukan seperti ini. kamu pejabat pemerintah. "Bagaimana rakyatmu kalau dirimu seperti ini Pak" aku ini rakyatmu yang butuh kasih sayangmu. Bukan kekerasanmu. Cukup, aku tidak sanggup lagi melayanimu. Sudah terkuras habis tenagaku. Sudah hentikan Pak..!!.

Malam-malam yang tidak aku inginkan, semoga ini tidak terulang lagi. Aku menyesal bukan karena diriku ini dengan sukarela melayaninya, melainkan paksaan yang kau beri. Hampir puluhan orang yang sudah aku layani. Tapi hanya dirimu yang memaksaku. Sudah sirna penjualan cintaku. Musnah sudah harga cintaku. Cintaku hilang atas paksaamu. Hari ini dan esok adalah beda. Aku percaya itu. bukan sekadar menghibur diriku. Aku yakin dari puluhan sampai ratusan laki-laki, dari berbagai macam bentuknya, hanya dirimu yang berbeda. Dirimu rakus. Dirimu serakah atas nafsumu sendiri.

Beberapa bulan kemudian dia datang kembali kepadaku. Dengan wajah yang muram dia meghampiriku. Aku sudah tidak mau tau dengannya. Aku kunci semua pintu kamarku. Aku tidak mengharap kedatangannya, aku tidak menginginkan kehadirannya. Tapi dia tetap saja mnyelinap ke rumahku.

"Sar Sar Sari, keluarlah ..!!! aku ingin berbicara kepadamu." Suara panggilan Pak Dayat yang keras sambil menggedor-nggedor pintu kamarku.

Tapi aku tidak mau keluar, antara takut dan bimbang. Tiba-tiba dia mendobrak pintu kamarku dengan sekencang-kencangnya.

"Ngapain kamu tidak membuka pintu" Tanya Pak Dayat

"Mending Bapak pergi, aku tidak ingin mengharapkan kehadiran bapak" Pintaku kepadanya.

"Aku tidak akan pergi Sar, aku terkena herpes, mungkin dirimu juga terkena. Karena wanita terakhir yang aku setubuhi hanya dirimu. Istriku tidak ada di rumah. Dia pergi keluar negeri" Pengakuan yang diberikan oleh Pak Dayat.

Aku mendengar kabar tersebut hatiku sangat sedih. Kalau dia terkena penyakit herpes, otomatis aku juga terkena. Sumber dari segala penyakit bersumber dari tubuhku. Secara otomatis aku tidak bisa menjual cintaku. Aku tidak bisa menawarkan cintaku. Cintaku hilang melayang tanpa harapan. Jangankan harapan. Aku bekerja seperti ini juga tidak ada yang bisa aku harapkan. Semua kehidupanku tanpa harapan. Sebab aku tau, harapan adalah bukan kepastian. Tuhan pengatur kehidupnku. Bukan kita yang menciptakan etika, melainkan masyarakat sosial yang memunculkan opini tersebut.

Sekian cinta yang aku berikan kepada mereka. Aku tidak mau menebar benih penyakit di negara ini. Biar para penggawa-penggawa saja yang mampu mengendalikan penyakit berfikir kepada masyarakat dan rakyat-rakyatnya. Aku jujur pada diriku sendiri dan Tuhan. Dari pada mereka yang tak bisa berfikir untuk kejujuran atas posisinya.

Herpez adalah kenikmatan untukku. Tuhan masih sayang kepadaku. Kalau bisa herpez yang aku derita ini bisa tersebar ke pejabat-pejabat yang ada di Jakarta. Yang aku inginkan hanya satu. Biar mereka paham akan kesadaran yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Mungkin juga herpez yang aku alami ini adalah hutangku pada Tuhan. Sudah sekian lama aku meninggalkan sisi manusiaku. Ini saatnya aku menabung penyakit kepadanya. Perihal penyakit Kata orang adalah penghilang dosa.

 

11 OKTOBER 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun