Mohon tunggu...
Irwan Sureno Saogo
Irwan Sureno Saogo Mohon Tunggu... Mahasiswa STT EKUMENE MEDAN

Jangan jadi yang terbaik, tetapi lakukanlah yang baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengalaman yang Indah saat mengunjungi Jemaat Metanoia Kentara di Sidikalang

2 Juli 2025   19:25 Diperbarui: 10 Juli 2025   15:42 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Gapura di Sidikalang: (sumber:dokpri/Irwan Sureno saogo)

Langit pagi itu biru pekat, nyaris tak berbatas, seperti kanvas luas tempat Tuhan menuangkan damaiNya. Angin sejuk menyapu lembut wajah kami saat kendaraan mulai menanjak, menyusuri jalan-jalan berliku menuju Sidikalang sebuah kota kecil di pelukan Sumatera Utara yang menyimpan kisah besar di balik kesederhanaannya. Di sepanjang perjalanan, kami tak banyak bicara. Alam seperti memaksa kami diam untuk mendengar mendengar desir angin, riak dedaunan, dan bisikan syukur dalam hati. Bukit-bukit hijau berselimut kabut menggantung, lembah yang dalam dan sawah-sawah yang menghampar, semua berpadu seperti simfoni agung. Sejenak kami lupa pada dunia kota yang sibuk. Dalam sunyi itu, kami merasa didekap oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjalanan pelayanan: sebuah panggilan jiwa.

Tujuan kami sederhana namun dalam: GSKI Metanoia Kentara sebuah gereja kecil di balik gunung, berdiri tidak dengan kemegahan bangunan, tapi dengan kekuatan hati jemaatnya. Kami datang bukan sebagai musisi profesional atau tim rohani yang ternama. Kami hanya sekumpulan anak muda, dengan suara pas-pasan, gitar tua, dan semangat yang kami isi dengan doa. Tapi pagi itu, entah mengapa, kami merasa seperti diutus bukan untuk tampil, tapi untuk menjadi bagian dari sesuatu yang suci. Tuhan seperti telah menyiapkan tempat ini dan hati-hati di dalamnya jauh sebelum langkah kaki kami sampai.

Ketika kami tiba, waktu terasa melambat. Jemaat menyambut kami dengan senyum yang tulus, mata yang jernih, dan pelukan yang hangat. Tidak ada formalitas. Hanya ada kasih yang nyata. Dan saat kami mulai menyanyi, ruangan yang kecil itu seperti berubah menjadi surga kecil di bumi. Suara kami lirih, lalu menguat. Bukan karena harmoninya, tapi karena kehadiran-Nya. Lagu-lagu pujian mengalir seperti air dari mata air yang jernih—menyentuh, meresap, dan menghidupkan. Di hadapan salib, kami menyerahkan bukan hanya suara, tetapi juga luka, harapan, dan ucapan syukur yang tak terucap.

Seusai pelayanan, seorang ibu paruh baya menghampiri kami. Ia menggenggam tangan saya erat, matanya basah oleh air mata. "Terima kasih, Nak," katanya dengan suara bergetar. "Lagu kalian menyentuh hatiku. Sudah lama aku tidak merasa sedamai ini." Kata-katanya menembus hati saya lebih dari pujian mana pun. Bukan karena kami hebat, tapi karena Tuhan bekerja melalui kesederhanaan kami.

Saya menatap langit Sidikalang sekali lagi. Awan-awan bergerak perlahan, seolah mengirim pesan: “Ketika kamu memberi, kamu pun disembuhkan.” Kami datang untuk melayani, tapi justru pulang dengan hati yang lebih utuh. Pelayanan hari itu bukan tentang keberhasilan atau penampilan. Tapi tentang perjumpaan dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan diri sendiri yang kadang terlupa di tengah kesibukan hidup. Kami pulang bukan sebagai tim musik, tapi sebagai saksi kecil dari karya besar-Nya.

Kesimpulan

Perjalanan ke Sidikalang bukan sekadar sebuah aktivitas pelayanan, melainkan sebuah pengalaman rohani yang mengubah cara pandang kami tentang arti melayani. Di tengah kesederhanaan dan keheningan kota kecil itu, kami justru menemukan kedalaman makna bahwa pelayanan sejati tidak diukur dari seberapa sempurna suara kita atau seberapa banyak yang kita tampilkan, tetapi dari ketulusan hati yang kita bawa. Tuhan bekerja melalui siapa pun, bahkan dari mereka yang merasa “biasa saja”, asal hati mereka mau dipakai. Dan dalam proses memberi, ternyata kami juga menerima penguatan, damai, bahkan penyembuhan batin. Senyum jemaat, pelukan hangat, dan air mata syukur menjadi bukti bahwa kasih Tuhan hadir dalam hal-hal kecil namun nyata. Kami datang untuk membawa pujian, tetapi pulang dengan hati yang dipulihkan. Di Sidikalang, kami belajar bahwa pelayanan bukan hanya tentang lagu, melainkan tentang hati yang berserah, jiwa yang terbuka, dan kasih yang tak bersyarat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun