Mohon tunggu...
Nama Saya
Nama Saya Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Kadang Ini dan itu

Megenggeng adi mesera

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Review/Kritik Film 3 Nafas Likas

12 Oktober 2014   16:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:22 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Film 3 Nafas Likas bermula dari masa kecil Likas Br Tarigan (Istri Djamin Ginting Suka), sejak awal permulaan film ini sudah terasa kesan ketidak karoannya, bagi orang Karo atau orang yang pernah tinggal di Tanah Karo pasti tau. Dengan kesan logan kebatak-batakan menjadikan film ini semakin garing ;), karena dari beberapa informasi yang coba saya dapatkan disini dan disini film ini akan menggunakan beberapa teks dalam bahasa Karo, yang ternyata dari sisi logat dan pengucapan sangat-sangat tidak tepat. Pemeran bukan orang Karo bukan alasan yang masuk akal, bisa dibilang film ini kurang melakukan riset di Tanah Karo untuk beberapa aspek yang penting, salah satu contoh : Adegan saat Djamin Ginting Suka pulang dari medan perang, dan didapati oleh Likas Br Tarigan dia sudah berapa di rumah orang tuanya (Desa Suka), Likas Br Tarigan marah dan keluar, Djamin Ginting keluar setelah beberapa saat mereka seperti beradegan seakan-akan Djamin Ginting mau mencium Likas, apakah mungkin hal ini terjadi di lingkungan masyarakat Karo jaman dahulu? Dan itu berada di depan rumah dimana banyak orang lagi asyik ngobrol? sepertinya hal ini terlalu berlebihan.

Panggilan untuk ibu menggunakan bu, dari seharusnya menggunakan kata nande atau biasa nde, tetapi sewaktu Likas sudah dewasa dan tiba dirumah setelah beberapa tahun, kata yang pertama dia ucapkan untuk memanggil ibunya adalah nande dengan logat yang kurang tepat, sewaktu kecil dia memanggil ibunya dengan ucapan Bu tetapi setelah dia dewasa, ntah ada angin apa dia tiba-tiba memanggil ibunya dengan kata nande, sesuatu yang menurut saya terkesan terlalu dipaksakan menggunakan bahasa Karo, tetapi tidak pada tempatnya.

Banyak film yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat lokal (pedesaan) di film-film Indonesia, tetapi kenapa kali ini hasilnya sangat jauh berbeda? terlalu banyak dibuat-buat, terutama logat pemeran dalam film tersebut. Ambil contoh film Laskar Pelangi atau Sekolah Rimba, mereka masih menggunakan logat lokal apa adanya :D Bisa dibilang ini salah satu proses pembatakan karo juga :) walaupun mungkin tanpa kesengajaan.

Saya kutip ucapan Vino yang termuat di Tribunnews “Banyak yang bilang perbincangan kami dalam bahasa Karo di film membuat mereka serasa berada di kampung,” cerita Vino.
dengan mentah-mentah bisa saya bilang malah saya malu mendengar dia berbicara bahasa Karo, dari logat dan pengucapan kata yang salah, bagi orang yang belum pernah mendengar orang karo berbicara mungkin menganggap itu biasa dan seperti itulah logat orang karo, sekali lagi kita (orang Karo) dibawah ke penafsiran yang salah oleh orang-orang yang menonton film tersebut.

Dari sisi alur cerita, film 3 Nafas Likas ini sangat menarik, menceritakan bagaimana perjuangan seorang putri Karo, yang sangat gigih dalam belajar untuk mencapai cita-citanya menjadi seorang guru, disamping itu juga perjuangannya sebagai pendamping bagi istri seorang pejuang.

Satu yang hampir terlupa, lagu latar belakang (background) alangkah baiknya bila menggunakan lagu instrumen karo, jadi kesan kekaroannya semakin menambah suasana kehidupan di Karo pada jaman dahulu.

Untuk yang penasaran dengan arti 3 Nafas di judul 3 Nafas Likas, tunggu tanggal mainnya di Bioskop terdekat :D

repost dari https://www.karo.or.id/review-film-3-nafas-likas/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun