Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Dasar di Selatan Kabupaten Bima

18 Februari 2022   15:06 Diperbarui: 18 Februari 2022   15:10 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puluhan anak berkumpul, lalu sejurus kemudian lari sembari berkejaran. Mereka tampak ceria. Tertawa lepas setelah mampu meraih temannya. Terik matahari menyengat kulit seolah bukan penghalang bagi puluhan anak itu. Beberapa guru tampak sedang asyik duduk di depan ruangan. Mereka tampak berbincang, sembari melepas pandang pada puluhan anak yang bermain di tengah lapangan.

Itu saya saksikan di salah sekolah dasar di selatan Kabupaten Bima. Sekitar tiga kilo meter dari sekolah itu, gedung megah milik pemerintah daerah setempat sedang menantang langit. Di situlah penguasa daerah timur Nusa Tenggara Barat merumuskan kebijakan. Di sanalah hingar hingar kepentingan saling berkelindan. Adakah kebijakan yang berpihak pada sekolah tempat dimana saya saksikan saat ini? Entahlah.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Tapi anak-anak yang saya saksikan hari ini, Jumat, 18 Februari 2022, sedang menikmati hari. Yang mereka tahu, bagaimana menikmati kehidupan tanpa kemunafikan. Tanpa harus menginjak kepentingan pihak lain. Kehidupan yang dijalani di dunia anak adalah kehidupan tanpa syarat. Bagi mereka, terpenuhinya keinginan yang tidak bertele-tele adalah punyak tertinggi kebahagiannya.

Dunia anak adalah dunia pemaaf. Seorang anak tidak pernah memelihara dendam kepada temannya kala perselisihan di antara mereka mencuat di permukaan. 

Jika sesaat mereka saling menumpahkan amarah, sesaat itu pula mereka saling memberi maaf. Kembali bermain. Berkumpul, lalu tertawa bersama menikmati hari. Merengek kepada orang tuannya, lalu pergi dan berbahagia dengan satu lembar rupiah di tangan.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Puluhan anak yang terpotret hari ini, memang bukan hal yang baru. Dimana pun, dan di belahan dunia mana pun, anak selalu memperlihatkan caranya sendiri dalam mengubur hari. Bagi orang dewasa mereka dianggap belumlah cukup memahami kehidupan. Sementara yang lain memandang, anak hanya satu periode kehidupan yang akan pasti dilewati sebelum di sebut sebagai remaja dan dewasa.

Namun tidak pada soal kedewasaan. Anak tidak elok di pandang sebagai kumpulan manusia yang belum memahami tentang kehidupan. Pada mereka ada banyak pelajaran yang bisa dijadikan referensi. Ada cinta yang tak pernah pupus. Mereka bermain perang-perangan bukan untuk menghilangkan nyawa satu sama lain, tapi menjadi penghibur kala gunda gulana menyelimuti hari.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Jika dibandingkan dengan mereka yang dilabeli dengan kata dewasa. Mereka kumpulan manusia yang merasa paham dan tahu segalanya. Mereka saling menikam, lalu menyusun kekuatan demi membuktikan bahwa merekalah yang paling maju. 

Mereka yang diperbudak label kekuasaan, kesombongan serta kerakusan. Antar mereka saling menghunus pedang, lalu menebas leher sesama tanpa pernah bersalah. Darah yang mengalir di tanah dengan tubuh yang merebah serupa onggokan sampah yang tak memberi nilai guna.

Namun lihatlah pada anak-anak ini. Mereka hidup berdampingan sembari saling menebar cinta dan kedamaian. Dunia terlihat begitu damai. Alam menyambut mereka serupa ibu yang memeluk anaknya yang sabang tahun baru bersua kembali. Di tengah tanah lapang, mereka menyulam kisah yang kelak menjadi histori.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Melihat itu, saya hanya bisa termenung sembari membayangkan pentingnya belajar pada banyak hal, termasuk pada anak-anak itu. Dalam kesendirian dengan pandangan yang terarah, tiba-tiba bel sekolah berbunyi. 

Seorang lelaki tua berdiri di pinggir ruangan, lalu dengan suara lantang ia memanggil anak-anak itu untuk masuk ke kelas. Mendengar itu anak-anak berlarian menuju kelasnya masing-masing. Mereka meninggalkan kepingan realitas yang telah memberi arti pada semesta hari ini.

Adakah itu akan terulang? Entahlah. Tapi yang pasti, dalam kehidupan ini semua akan selalu ada episode berikutnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun