Andaikan saja saya hidup di masa itu, ada banyak hal yang ingin saya perbincangkan dengan Ncuhi. Saya bisa menyambangi kediamannya. Di bibir sungai saya bisa mendengarkan kisahnya yang mengharu biru. Bahkan membantunya memotong padi hingga berkarung karung. Jika dia nampak lelah, biar saya yang melanjutkan agar padi yang di panen bisa memberi kehidupan bagi warga kampung.
Tapi sayang, kami hidup berjarak waktu dan generasi. Kisahnya serupa pahlawan modern yang baru pulang di medan laga. Kepatuhan warga padanya membuat kehidupan di kampung berjalan harmonis dengan semesta. Tidak ada gossip. Tidak pula perkelahian warga hanya karena batas rumah yang sejengkal. Saking terjaganya, seseorang bisa saja menukar  satu kerbau dengan sawah satu hektar. Tanah ditukarkan serupa kue di kios. Diberikan begitu saja hanya bermodalkan keyakinan kekuatan lisan.
"Maru ra ana, mboto di cerita wali ba nahu nais-nais re (Tidurlah nak, masih banyak yang akan di ceritakan besok-besok) " Tutup ibu mengakhiri kisahnya tentang Ncuhi.
Ketika kisah Ncuhi di hamparkan, saya sudah terlelap dalam pembaringan di pangkuan ibu. Kala itu, saya masih duduk di sekolah dasar ketika ibu sering mengkisahkan tentang Ncuhi. Saya menyukai di beberapa bagian kisah itu. Saya bahkan sering mendesak ibu untuk bercerita, sembari merasakan lambaian tangannya di kepala. Dengan begitu saya cepat terlelap tidur, lalu bangun keesokan harinya dengan semangat '45.
Tunggu kisah berikutnya ya....