ini tepat di bulan puasa, Minggu 18 April 2021 pukul 16.00, saya bersama Ai dan Yuda memutuskan ke sawah. Tanpa janjian. Maksud kami adalah memetik daun kelor dan pucuk labu untuk bahan sayur bening.Â
HARIAi sama Yuda datang dari rumahnya di desa Daha hanya untuk mengajak saya ke sawah. Dengan motor Mio kami bonceng tiga. Sawah yang kami tuju adalah sawah orang tua saya. Di sudut-sudut pematang sawah, bapak menanam kemangi, labu, nangka dan mangga. Sementara pagar yang mengelilingi sawah ada beberapa pohon kelor yang menjulang tinggi.Â
Untuk sampai ke sawah, kami harus menempuh perjalanan kurang lebih satu kilo meter dari kampung. Jalan menuju tujuan sudah di aspal licin, walaupun belakangan di beberapa titik ruas jalan yang menuju desa Jala ini sudah ada yang rusak. Sehingga pengendara harus hati-hati di titik tertentu. Jalan ini sangat  vital bagi masyarakat kecamatan. Selain ke sawah, masyarakat juga menggunakan jalan ini untuk kebutuhan lain, seperti ke laut dan mempertemukan warga yang lain perkampungan.Â
Saya yang mengendarai motor dan melajukannya dengan cukup pelan. Tidak terburu-buru apa pagi melaju seperti balapan Valentino Rossi. Kami menikmati perjalanan sambil berbincang di atas kuda besi yang melaju pelan. Mentari sore masih hangat menyentuh kulit. Ia leluasa menyapa semesta. Awan nampaknya tak cukup nyali untuk menghalangi kuasa sapuan mentari sore. Cahayanya menyibak. Terang dunia dibuatnya.Â
Sesampainya di tujuan, saya memakirkan motor di pinggir jalan. Tak ada khawatir di curi. Pasalnya jalan dimana motor diparkir sampai sabang hari selalu ramai di lewati banyak kendaraan. Kami masuk ke sawah dengan menaiki tangga yang cukup tinggi.Â
Bapak sengaja membuat pagar masuk di areal persawahan dengan susunan kayu yang dimana setiap yang masuk agak kesulitan. Karena sebelum panen, beberapa gerombolan kambing beberapa kali masuk dan memakan tanaman yang ada di dalamnya. Karena itu membuat bapak marah. Sehingga untuk menyulitkan kambing dan sapi yang sering lalu lalang di jalan, dibuatlah pintu masuk dengan meninggikannya.Â
Ai dan Yuda cukup kesulitan berpijak di pintu masuk. Tapi tantangan itu tidak cukup alasan membuat mereka menyerah. Ai dan Yuda sama-sama masih duduk di Sekolah Dasar.Â
Di kampungnya, mereka berteman baik. Karena tetanggaan mereka sering menghabiskan waktu bersama. Kadang main di rumahnya Ai, kadang pula menghabiskan waktu di rumahnya Yuda. Dan sore ini saya menemani mereka berdua untuk mengambil daun kelor dan pucuk labu di sawah. Beberapa pohon kelor saya pilih yang daunnya masih segar. Saya petik beberapa, dan mengambilnya di beberapa pohon yang lain.Â
Kemudian di sudut sawah, pucuk labu yang segar menjalar menyasar banyak arah. Saya memetik pucuknya beberapa yang masih hijau. Terlihat buahnya masih kecil. Dan biasanya kalau sudah besar seperti bola sepak akan diambil, diolah untuk kebutuhan dasar beragam kue jajanan. Ai menuturkan agak sulit makan tanpa sayur, begitu juga bapaknya. Sehingga ketika tidak ada sayur, biasanya akan datang ke rumah saya.Â
"Kalau makan harus ada sayur, karena biasanya nasi keselek di tenggorakan kalau makan" Ujar Ai saat menemani saya memetik daun labu di ujung sawah.Â
Setelah di rasa cukup memetik, kami tidak langsung pulang. Sejenak kami bersantai di dangau di pertigaan pematangan sawah. Ukurannya cukup hanya beberapa orang. Di dangau inilah bapak biasa tidur menjaga tanamannya.Â
Namun setelah musim panen selesai, dangau ini dibiarkan begitu saja sebagai tempat singgah bagi siapa saja yang lewat di areal persawahan. Bapak nampaknya sengaja membangunnya di tengah sawah. Selain bisa melepas pandang di seluruh penjuru persawahan, juga kita bisa merasakan sejuknya angin menyapa. Tidak gerah dan peluh keringat akan cepat mengering karena sapuan angin tanpa spasi dari berbagai arah.Â
Sejenak kami berbincang sembari menunggu senja temaram menyapa. Untuk mengikat momen, saya meminta Ai dan Yuda gantian mendokumentasikan keberadaan kami dengan handphone mungil saya. Jadilah fotonya seperti yang ada dalam cerita ini. Saya sengaja menguraikan pengalaman ini, siapa tahu kelak bisa menjadi kenangan dan sejarah. Tidak hanya untuk pribadi, bisa jadi bagi semesta.