Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bencana Banjir Bandang di Desa Daha Meninggalkan Duka dan Trauma

1 Maret 2021   13:05 Diperbarui: 1 Maret 2021   13:29 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Osis SMK BN, di desa Daha, Kecamatan Hu'u, Kab. Dompu-NTB,

KABAR itu datang seperti disambar petir. Lewat via WA, saya tersentak membacanya. Sedikit tidak percaya apa yang sedang terjadi. Ini kali pertama terjadi sepanjang desa ini berdiri. Bencana itu datang menghancurkan puluhan rumah, merusak saluran irigasi, menyeret semua yang dilaluinya. Ia begitu murka. Marah.

Bencana datang tidak pernah di duga. Walaupun bisa diprediksi. Ia datang tak pernah diundang. Tidak mengenal kawan, apa lagi lawan. Jika ia mau, semuanya bisa hancur sekejap. Ia mengambilnya dengan cara yang mudah. Tidak ada satu pun yang mampu menghadangnya, terkecuali sang ilahi.

Dokpri.
Dokpri.
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Bencana memang hanya menyisakan air mata dan duka. Semua insan, tidak pernah menginginkannya datang. Tapi tidak sedikit mengundangnya secara tidak langsung. Perbuatan manusia yang serakah. Mengikuti hawa nafsu. Dan benar ungkapan Mahatma Gandhi, bahwa bumi ini cukup bagi semua umat manusia, namun tidak cukup bagi satu manusia yang serakah.

Kabar banjir bandang yang menerjang desa Daha, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu-NTB yang masuk lewat via WA saya tadi pagi membuat saya tersentak. Seorang kepala desa mengirimkan kabar itu, tadi malam pukul 03.00. 

Dalam keterangannya, banjir bandang menghancurkan sebagian wilayah kekuasaannya. Ia berusaha membantu warganya untuk segera meninggalkan rumahnya masing-masing agar terhindar dari terjangan banjir. Ia berjibaku dengan mengerahkan segala tenaga. Dia ingin memastikan semuanya aman. Keluarganya terpaksa ditinggalkan demi menolong warganya.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Ia seolah tahu bahwa jabatan adalah amanah. Memastikan warganya selamat merupakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Tidak banyak yang bisa ia lakukan dalam situasi genting seperti itu, selain memastikan warganya segera dievakuasi sesegera mungkin. Bersama dengan sebagian warga yang lain, dirinya mencoba melakukan sesuatu yang terbaik.

Air bah yang datang dari arah gunung seolah ingin memberi isyarat, bahwa rusaknya alam. Penggundulan yang dilakukan selama ini, merupakan tindakan yang salah. Alam memberi teguran. Ia marah karena dirinya dieksploitasi. Dia memberi alarm. Teguran. Bahwa dengan menebang pohon dan menggunduli daerah pegunungan, membuatnya sangat murka.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Setelah selesai membaca, hanya hitungan menit saya sudah sampai di lokasi kejadian dengan mengendarai kuda mesin yang saya punya. Malam baru saja beranjak pergi. Langit masih terlihat mendung. Di sepanjang jalan desa, warga berhamburan keluar. Mereka menyaksikan langsung dampak yang ditimbulkan oleh banjir bandang semalam.

Turun dari motor, saya mengambil beberapa gambar. Tertangkap kamera; rumah rusak, jalan terancam amblas, potongan kayu berserakan dimana-mana, satu mobil pick up tergeletak diujung gang kampung, dan lumpur tergenang di puluhan rumah warga.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Terlihat beberapa warga membersihkan rumahnya. Ada yang mengangkat perabot rumah tangga, menyapu lumpuh, menelpon entah siapa yang dihubungi. Bahkan ada pula yang menangis karena rumahnya sudah terseret banjir.

Belum terlihat bantuan yang datang. Maklum masih pagi, dan banjir bandang baru beberapa menit yang lalu pamitan kepada warga. Ia menyisakan duka yang mendalam bagi warga setempat. Dirinya tak sepatutnya disalahkan sepenuhnya. Tidak sedikit warga menyayangkan penggundulan gunung di timur kampung. Kemarahan alam di wakili datangnya banjir bandang.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Bersyukur tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Tapi kerugian diperkirakan ratusan juta rupiah.

Tentu tidak ada pihak yang menginginkan ini terjadi. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Manusia dituntut untuk mengambil pelajaran. Mengambil hikmah dari apa yang terjadi. Agar ke depan hal yang sama tidak kembali terjadi. Tidak cukup dengan melangitkan doa. Diperlukan hidup bergandengan dengan alam, berkerabat, bersinergi dan saling menjaga. Jika hal ini bisa dipahami, dipenuhi, dilakukan. Maka alam akan datang dengan damai dengan suguhannya yang mempesona. Tapi, jika manusia serakah dan merusak alam. Maka tunggulah kehancuran selanjutnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun