KABAR itu datang seperti disambar petir. Lewat via WA, saya tersentak membacanya. Sedikit tidak percaya apa yang sedang terjadi. Ini kali pertama terjadi sepanjang desa ini berdiri. Bencana itu datang menghancurkan puluhan rumah, merusak saluran irigasi, menyeret semua yang dilaluinya. Ia begitu murka. Marah.
Bencana datang tidak pernah di duga. Walaupun bisa diprediksi. Ia datang tak pernah diundang. Tidak mengenal kawan, apa lagi lawan. Jika ia mau, semuanya bisa hancur sekejap. Ia mengambilnya dengan cara yang mudah. Tidak ada satu pun yang mampu menghadangnya, terkecuali sang ilahi.
Kabar banjir bandang yang menerjang desa Daha, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu-NTB yang masuk lewat via WA saya tadi pagi membuat saya tersentak. Seorang kepala desa mengirimkan kabar itu, tadi malam pukul 03.00.
Dalam keterangannya, banjir bandang menghancurkan sebagian wilayah kekuasaannya. Ia berusaha membantu warganya untuk segera meninggalkan rumahnya masing-masing agar terhindar dari terjangan banjir. Ia berjibaku dengan mengerahkan segala tenaga. Dia ingin memastikan semuanya aman. Keluarganya terpaksa ditinggalkan demi menolong warganya.
Air bah yang datang dari arah gunung seolah ingin memberi isyarat, bahwa rusaknya alam. Penggundulan yang dilakukan selama ini, merupakan tindakan yang salah. Alam memberi teguran. Ia marah karena dirinya dieksploitasi. Dia memberi alarm. Teguran. Bahwa dengan menebang pohon dan menggunduli daerah pegunungan, membuatnya sangat murka.
Turun dari motor, saya mengambil beberapa gambar. Tertangkap kamera; rumah rusak, jalan terancam amblas, potongan kayu berserakan dimana-mana, satu mobil pick up tergeletak diujung gang kampung, dan lumpur tergenang di puluhan rumah warga.
Belum terlihat bantuan yang datang. Maklum masih pagi, dan banjir bandang baru beberapa menit yang lalu pamitan kepada warga. Ia menyisakan duka yang mendalam bagi warga setempat. Dirinya tak sepatutnya disalahkan sepenuhnya. Tidak sedikit warga menyayangkan penggundulan gunung di timur kampung. Kemarahan alam di wakili datangnya banjir bandang.
Tentu tidak ada pihak yang menginginkan ini terjadi. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Manusia dituntut untuk mengambil pelajaran. Mengambil hikmah dari apa yang terjadi. Agar ke depan hal yang sama tidak kembali terjadi. Tidak cukup dengan melangitkan doa. Diperlukan hidup bergandengan dengan alam, berkerabat, bersinergi dan saling menjaga. Jika hal ini bisa dipahami, dipenuhi, dilakukan. Maka alam akan datang dengan damai dengan suguhannya yang mempesona. Tapi, jika manusia serakah dan merusak alam. Maka tunggulah kehancuran selanjutnya.