SELAMA Covid-19 merebak hingga entah kapan akan berakhir, ada banyak aspek yang terkena dampaknya, termasuk aspek ekonomi. Masyarakat di himbau untuk tidak melakukan kerumunan seperti di pasar. Ruang gerak setiap orang mulai di batasi, dan diharapkan untuk tidak melakukan aktivitas yang tidak penting di luar rumah, sebagai upaya untuk menekan angka korban Covid-19 agar tidak bertambah.Â
Tapi di kampung, pertanian tetap terlihat berdenyut. Para petani tetap melakukan aktivitasnya dengan menyambangi lahan pertanian.
Sebab, jika itu tidak lakukan, maka tidak ada jaminan dapurnya tetap mengepul jika memutuskan mengurung diri di rumah.
Mereka bukan bermaksud untuk tidak mematuhi protokol kesehatan yang digaungkan oleh pemerintah, tetapi mereka tetap ingin memastikan bahwa kebutuhan hidup tetap terjaga.Â
Ubi jalar sudah bisa di panen, setelah tiga bulan di tanam. Selain dijual, ubi jalar juga dikonsumsi sendiri, bahkan diberikan juga ke pihak keluarga yang membutuhkan.Â
Kali ini, kami menggali beberapa bedeng saja, sesuai permintaan pembeli dan untuk kebutuhan sendiri di rumah.
Dari beberapa bedeng yang digali, cukup memenuhi karung dan langsung di bawah pulang dengan menggunakan sepeda motor. Bahkan sebagiannya, sudah di pisah-pisahkan sesuai ukuran besar kecilnya. Untuk ubi jalar yang besar dijual kepada pengepul.
Tapi sayang, harga jual untuk satu karung yang kecil dihargai cukup murah. Rp.120.00/karung. Kemungkinan karena efek Covid-19, atau bisa juga permainan para pembeli yang selalu berhasil meyakinkan petani bahwa harga jual dengan harga sekian, masih memberikan sedikit untung buat mereka. Karena biasanya, harga satu karung dihargai Rp. 150.000/karungnya.
Ketika sengatan matahari mulai terasa, dan beberapa karung sudah terpenuhi. Kami pun memutuskan untuk pulang kembali ke rumah. Dengan kendaraan, kami melewati beberapa tanaman warga yang menghiasi lahan pertanian.