Tak berapa lama kami akhirnya sampai di jalur yang dipasangi tali pegangan panjang untuk naik  menuju ke puncak. Dan ketika saya bertanya Pos 5 dimana?. Mas porter menjawab bahwa di tempat yang tadi ramai orang foto-foto itulah letak Pos 5 atau dikenal dengan nama Pos Watu Ireng dengan ketinggian 2930mdpl. Oh, rupanya saya tadi sudah melalui Pos 5 ketika diajak berjalan lewat sisi sebelah kanan jalur.
Karena waktu untuk sholat subuh sudah masuk, akhirnya saya berhenti di dekat sebuah batu besar. Di sebelah batu itu ada tempat yang sedikit lapang. Seorang pendaki perempuan sedang khusuk melaksanakan sholat disitu dengan menggelar sajadah. Saya menunggu sampai dia selesai sholat. Setelah pendaki perempuan itu beranjak pergi, giliran saya sholat di tempat yang sama.
Selesai sholat, saya mengeluarkan oxycan dan menghirup oksigen dalam-dalam sebanyak lima kali. Alhamdulillah, paru-paru saya terasa segar kembali. Saya mulai melanjutkan pendakian lagi ketika di ufuk timur cahaya semburat jingga mulai memancar. Beberapa pendaki mengabadikan momen bentang alam yang sungguh indah ini dengan camera hp masing-masing. Sementara saya masih belum berminat mengambil hp untuk memfoto sekitar sebab kondisinya masih gelap. Saya lebih memilih fokus untuk melanjutkan perjalanan menggapai puncak dengan berpegangan pada tali pengaman.
Menurutku jalur menuju puncak dengan medan berbatu seperti ini memberikan tantangan tersendiri. Kami tidak bisa bebas melangkahkan kaki ketika berjalan. Kami harus memperhatikan bahwa batu yang kami injak itu aman. Sebab, bila kurang hati-hati melangkah dan menginjak batu yang posisinya labil. Sungguh itu sangat berbahaya. Batu bisa menggelinding jatuh dan bisa mengenai pendaki lain yang ada di bawah. Kita harus saling menjaga keselamatan sesama pendaki dengan tidak melakukan tindakan yang berbahaya dan sembrono.
Dan beberapa kali saya menyaksikan sendiri ada batu yang terjatuh dan menggelinding kencang ke bawah. Untungnya tidak sampai mengenai pendaki karena kebetulan batunya menggelinding ke luar jalur. Setiap kali ada batu jatuh, sontak seluruh pendaki akan saling berteriak mengingatkan pendaki yang ada di bawah " Awas Batu!". Peringatan tersebut biasanya akan disambut dengan teriakan estafet yang sama oleh pendaki yang ada di bawah " Awas batu!". Dengan begitu pendaki-pendaki yang masih ada di bawah akan lebih waspada dan berlindung menghindar bila ada batu yang jatuh.
Setiap gunung itu memiliki keindahannya masing-masing. Dan setiap gunung juga memiliki tantangan sendiri, termasuk juga jalur pendakian yang tidak sama. Beberapa memang ada kemiripan medannya. Tapi tak sedikit yang kontur jalurnya berbeda. Termasuk jalur menuju puncak. Setiap gunung memiliki tingkat tantangan kesulitan yang berbeda-beda.
Jalur menuju puncak di gunung Slamet ini memiliki medan berbatu labil yang membuat pendaki tidak boleh menginjakkan kaki sembarangan. Kontur medannya jelas tidak sama dengan jalur menuju puncak Semeru maupun jalur letter E Rinjani. Tapi sangat menguras tenaga medannya. Beruntung disini masih diberi bantuan pengaman tali tambang untuk membantu pendaki yang akan naik dan juga yang turun.
Sebelum tiba di puncak hari sudah mulai terang. Headlamp sudah tak lagi dinyalakan karena jalanan sudah mulai terlihat jelas. Beberapa meter sebelum tiba di puncak kabut tebal bercampur asap belerang turun terbawa angin kencang. Bau belerangnya begitu menyengat menusuk hidung. Saya berusaha membetulkan kain buff untuk menutupi hidung lebih rapat.