Bismillah,
Jika dikenang masa-masa kecil, menanjak dewasa dan  menjelang tua, kami yang berasal dari desa penuh dengan cerita memgharukan. Mengharukan karena jalan hidup kami sangatlah panjang, terjal dan berbahaya. Tapi alhamdulillah diselamatkan oleh pemilik alam semesta ini, Allah swt. Tulisan ini menguraikan perjalanan hidup mencari ikan untuk pangan keluarga.
Tak makan jika tanpa ikan
Terdidik di keluarga kakek Kerinsan dan nenek Muntianan diyakini punya kebiasaan yang sama dengan keluarga lain di Lubuk Langkap. Tak enak makan jika salah datu menunya bukan ikan.
Pagi-pagi sekali jika sedang berada di dusun Lubuk Langkap saya bertugas menjala ikan di sungai Air Nipis. Maklum saya anak tertua dari 7 bersaudara.
Menjala saya lakukan sendiri atau dengan kakek Merinsan  karena ayah dan ibu di sawah, maka kami memasak sendiri sebagai lauk sebagai temannya nasi yang sudah dimasak sebelum menjala ikan di sungai.
Inlah kebiasaan yang dilakukan secara berkala pada siang hari. Kebiasaan menjala ikan ini kami lakukan tergantung sedang menginap di kebun Datar Kepahyang atau sedang berada di rumah orang tua kala itu di Lubuk Langkap.
Menjala pagi hari dimulai dari ruas sungai di hulu Lubuk langkap hingga ke lubuk Juki. Ini wilayah edar jika sedang berada di dusun Lubuk Langkap. Namun jika sedang berada di sawah ataran sekunyiit wilayah edar kami adalah hulu penyeberangan ke sawah Jenamas hingga penyeberangan ke sawah Munir.
Jika berada di Datar Kepahyang kami memilih sejumlah alternatif mencari ikan. Pelaksanaannya bisa  pada waktu tengah hari, sore hari atau malam hari . Pilihan bisa memancing, menjala, menuba, memasang bubu, memasang tengkalak, memasang jaring, memasang taut dsb.
Kala di Sawah
Kala kerja di sawah, kami mencari ikan dengan sejumlah alternatif yakni memancing ikan gabus, menjala, mengait mungkus atau menuba sambil melingkarkan jaring atau jala ikan. Kakek Merinsan sangat piawai menangkap ikan bawah batu, di goa pinggir sungai atau menangkap ikan pelus di dalam batu dengan memberi pancing yang diberi umpan dan dimasukkan ke dalam lubang di bawah batu.
Ketika libur panjang
Ketika libur panjang kami bersama kakek, paman, saudara sepupu atau tetangga pergi mencari ikan ke lokasi yang jauh dari desa. Kala itu kami bermalam di di hulu air ndelengo. Dari kebun Datar Kepahyang kami berjalan puluhan kilometer ke arah timur laut. Sambil mengobrol di sepanjang jalan kami tiba di daerah yang dituju. Malam pertama hingga ketiga bisa di satu lokasi. Atau pindah pindah ke lokasi lain jika ikannya kurang memadai. Di pinggir sungai pada hari pertama kami membuat kemah yang dihuat dari pohon dan daun serdang. Si sanalah kami bermalam. Â Mendengarkan lagu daerah jika membawa tape recorder adalah bagian dari masa kami bermalam di pedalaman hutan. Kalau tidak kami akan ngobrol atau tidur pulas hingga pagi hari. Tentu tidak melupakan shalat subuh.
Sangat sering kami memperoleh ilan yang banyak. Biasanya ikan dibersihkan dan dijadikan ikan asap. Pada siang hari kami membakar ikan atau masak sop ikan dengan bumbu dan sambal cabe yang dibawa dari kebun.
Begitulah perjalan hidup kami asal desa. Kebiasan memakan ikan berlanjut hingga ke kota saat kami bersekolah, bekerja dan punya keluarga sendiri. Semoga menambah kekaguman kita kepada Allah swt, para nabi dan orangtua dan keluarga kita. Mereka semuanya sangat erat dengan perjalanan hidup kita.
Jayalah kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H