Mohon tunggu...
Supli Rahim
Supli Rahim Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati humaniora dan lingkungan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ternyata Kita Dibesarkan dari Dunia Kebohongan

5 Januari 2021   06:53 Diperbarui: 5 Januari 2021   07:15 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bismillah,

Alhamdulillah. Allahumma shaliala muhammad. Semua kita selalu berada di era kebohongan. Kita terasa sekali dibohongi oleh para politisi, ketika mereka mendatangi rumah kita, ladang kita, masjid kita, dan kelompok kita. Mereka sangat ramah, mereka sangat perhatian, mereka sangat ringan tangan, suka menolong dsb. Tulisan ini mengupas seputar hidup di dunia kebohongan.

Pelaku kebohongan di rumah

Penulis adalah orang desa yang hidup sederhana, antara melarat dan cukup. Ayah dan ibu adalah petani padi dan kopi. Keluarga kami pekerja keras. Pagi pagi sudah menjala di sungai atau memancing ikan. Ibu menyiapkan makan, menanak nasi dan air panas untuk minum. Adik-adik membantu ibu.

Sambil makan ibu dan ayah cerita. Memberi motivasi kepada kami. Bahwa si fulan atau fulana iyu bersekolah di sana. Hidupnya jauh lebih enak, ayah ibunya diajak ke kota. 

Ayah makan banyak sementara ibu membantu adik makan, menyuapi adik-adik yang kecil. Sering ibu terlambat makan, sedikit makan dan bahkan menumpang saja dari sisa-sisa makanan di piring adik. Inilah yang kami sadari bahwa ibu sejak lama berbohong kepada kami. Sudah makan bu? Sudah, katanya.

Begitulah kelakuan ibu bertahun-tahun. Pada kesempatan lain kami mengetahui bahwa ibu kurang tidur karena mengurus adik yang sakit, atau mengurus kami yang sedang sakit. Ibu tetap bersemangat mengurus kami, walau dia kurang sehat, tetap saja dia mengutamakan anak-anak dan suaminya, ayah kami. Di sini ibu berbohong.

Ayah juga berbohong. Dia menyuruh kami anak-anaknya untuk bersekolah. Suatu hari kami ingin berangkat ke kota untuk meneruskan studi pada semester lanjutan setelah libur semester sebelumnya. Ternyata ayah tidak punya uang, entah bagaimana dia pinjam dengan saudara atau kenalannya. Dia bilang akan membayarnya jika sudah punya uang. 

Giliran saya berbohong

Setelah saya tamat kuliah, saya membujuk ayah, ibu, kakek dan adik-adik untuk pindah ke kota. Saya meyakinkan mereka bahwa kehidupan kita akan lebih baik di kota jika kita rajin beribadah dan rajin bekerja atau belajar untuk adik-adik. Tetapi bulan ke bulan tahun ke tahun tidak ada perubahan yang berarti.

Ayah, ibu dan adik-adik kecuali kakek sudau sepakat untuk meminta saya mengembalikan mereka ke desa. Saya pun berbohong lagi. Saya sedang mencari lahan untuk kita bertani. Di kota ini, jika kita ada lahan kita bisa menanam sayur dan buah. Menjualnya enak. Dekat dengan pasar. Tolong doa kita semua.

Setelah menunggu dan bersabar beberapa lama, alhamdulillah kebohongan itu berbuah hasil. Ternyata benar bahwa kehidupan ayah dan ibu jauh lebih baik. Adik-adik sekolah. Saya pun bisa merencanakan untuk bersekolah ke LN. 

Saya pun harus berbohong kepada istri bahwa nanti setelah di LN saya akan kirim tiket pesawat supaya kita merantau bersama. Berkah kebohongan itu ada jalan untuk mengajak istri ke LN melalui pinjam uang dengan sejumlah teman.

Membohongi anak anak

Anak-anak saya kala itu sudah kuliah di tempat-tempat yang mahal untuk ukuran kantong saya yang notabene PNS (pegawai neman susah). Neman itu bahasa Palembang berarti sering atau selalu. 

Anak yang ketiga pula mendaftae sekolah di negeri jiran. Ayah, katak anak yang ketiga, bisa gak saya mau kuliah di Malaysia? Bisa kata saya. Saya sedang berbohong lagi. Karena anak pertama di FK gigi, yang kedua di Fasilkom bilingual juga "larang" SPP ne. 

Alhamdulillah ada jalan. Sebelum anak ketiga berangkat ke Malaysia, saya dulu yang dipanghil untuk "temu duga" alias wawancara untuk jadi pensyarah di UPSI Tanjung Malim Perak Malaysia.

Alhamdulillah  juga bahwa kebohongan demi kebohongan saya sudah mengubah keadaan keluarga saya. Kini anak pertama, kedua dan ketiga sudah punya kehidupan yang mapan, ada penghasilan. Anak pertama dan kedua sudah punya keluarga yang bahagia dan barokah, insyaa Allah.

Tinggal bertaubat

Dari banyak kebohongan kebohongan kepada keluarga itu, yang saya lakukan  adalah bertaubat. Ya Allah terimalah taubat keluarga kami. Ayah ibu .embohongi kami agar kami bisa hidup layak. Kami juga memohon padaMu agar diampuni segala dosa-dosa kami. Tapi bisakah kami memaafkan para politisi yang tega teganya membohongi kami pada pemilu demi pemilu. 

Jayalah kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun