"Bunda memang sekolah. Tapi nggak ada ayunannya. Nggak banyak mainan seperti sekolah Mas Jundi,"
Beberapa menit kemudian drama pagi itu selesai. Anak saya mau ke sekolah dengan semangat. Menjelang mandi hingga sarapan pagi tak henti-hentinya saya mengajak bercerita keseruan di sekolahnya. Supaya tergambar jelas keseruan pula yang akan ditemuinya.
Anak malas ke sekolah bukan sekali dua kali. Drama pagi itu adalah drama ke sekian kalinya. Saya tidak selalu sukses 'menaklukkan' anak. Beberapa kali juga gagal dan kalah. Beberapa kali anak tak mau dibujuk.
Dengan berbagai alasan mulai dari mengantuk, badan pegal-pegal, musuhan sama teman, dan lainnya.
Setelah itu saya merasa perlu membuat kesepakatan kepada anak. Berisi konsekuensi apa saja yang bakal diterima jika anak melakukan sesuatu.
Saya mengajak anak menyusun kesepakatan ini. Jadi bukan saya yang menentukan. Anak punya hak suara. Sehingga dia punya tanggung jawab untuk melaksanakannya karena ikut membuatnya.
Saya mengajak membuat kesepakatan waktu bermain. Di waktu itu, anak saya boleh bermain baik bermain di rumah saja maupun dengan temannya di sekitar rumah.
Untuk hari Senin-Jumat, waktu bermain adalah siang mulai pukul 14.00 - 17.00 WIB. Sedangkan Sabtu-Minggu pukul 09.00-15.00 WIB.
Di waktu itu, kalau tidak sekolah, harus tetap di rumah. Membantu orang tua seperti merapikan kamar, membersihkan lantai, merapikan mainan, dan lainnya. Selain itu, tidak mendapatkan uang jajan.
Sebelumnya saya menjelaskan bahwa uang jajan adalah bekal untuk sekolah. Â Jadi kalau sekolah, dapat uang jajan. Supaya menyemangati untuk sekolah. Maka, kalau tidak sekolah, tidak ada uang jajan juga.
Ayah Bunda, saat anak rewel atau bandel, jangan keburu marah. Memang sih orang tua ingin segera selesai masalah. Namun, anak sering tidak terkendali.