Mohon tunggu...
Supadilah
Supadilah Mohon Tunggu... Guru - Guru di Indonesia

Seorang guru yang menyukai literasi. Suka membaca buku genre apapun. Menyukai dunia anak dan remaja. Penulis juga aktif menulis di blog pribadi www.supadilah.com dan www.aromabuku.com serta www.gurupembelajar.my.id Penulis dapat dihubungi di 081993963568 (nomor Gopay juga)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Resensi Novel | Hati yang Bergeser

29 Mei 2018   11:43 Diperbarui: 29 Mei 2018   18:44 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bukurepublika.id

Benar bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu. Namun Rahim, seorang bungsu dari lima saudara di sebuah keluarga tidak merasakan surga itu. Bukankah seorang ibu harusnya menyapa dengan kelembutan dan memperlakukan dengan kasih sayang? Tapi tidak dengan Zulfin, ibunya. Ibunya tidak memberi makan. Bahkan nasi sisa pun dilarangnya.

Di saat keempat saudaranya berangkat sekolah, Rahim justru harus ke ladang. Bocah kecil itu harus mencangkul ladangnya. Belum makan, dan tidak diantar makan. Sepanjang hari Rahim mengayunkan cangkul dengan gemetaran hingga terik matahari memanggang kulitnya. Kumal wajahnya semakin terlihat memiriskan hati. Dlori ayahnya, tidak peduli. Makan siang di sawah dilewatinya tanpa sedikit pun memikirkan Rahim anak bungsunya. Justru Mbah Na'im yang dapat mengantarkan jatah makan siangnya untuk Rahim.

Keyakinan bisa berubah. Kemantapan hati bisa labil. Percaya pada omongan orang membuat sebuah keyakinan yang tadinya kuat bisa menjadi goyah. Pergunjingan yang berlangsung lama bisa membuat bangunan keluarga kokoh menjadi rapuh. Karakter warga Siwalan yang tadinya tenteram damai berubah jadi panas. Wuryani kerap membanggakan anaknya yang sukses-sukses.

Novel ini menyentil khas kehidupan bertetangga. Bahwa omongan tetangga selalu saja menyertai tindakan kita. Inilah kondisi yang serba salah. Baik dianggap salah, salah pun pasti tetaplah salah. Tidak melakukan dianggap keliru, tetapi bila melakukanya pun tetap dianggap keliru.  (Hal. 141).

Perbandingan itu memaksa Zulfin dan Dlori untuk juga membuktikan siapa yang paling sukses menghantarkan anak mereka. Memang, setelah itu kehidupan mereka semakin membaik. Panen melon memberikan penghasilan yang banyak. Demikian juga jeruk. Saat sawah ditanami padi pun, mereka meraup banyak untung. Namun kemudian membuat hati mereka bergeser. Kesombongan berbalut kedermawanan mulai melingkupi diri mereka. Saat Wuryani telah berbalik menjadi baik, justru Zulfin sebaliknya. Tertipu dengan kemenangannya.

Hati yang sakit sungguh luar biasa keji. Merasa bahagia atas kematian anak dari orang yang dibencinya. Wuryanti, tersenyum ketika Musa, anak Zulfin meninggal. Setelahnya, justru Zulfin yang merasa berbahagia dengan kematian Muniri, anak Wuryani. Duh, hidup memang sederhana. Tetapi menjadi rumit pada hati yang penuh kebencian dan kesombongan. Mereka mengira sedang melangkah dalam jalan kehidupan, padahal sesungguhnya mereka tengah menapaki jalan kematian. (Hal. 352)

Penulis novel ini secara apik mengeksplorasi tentang kepedihan hidup seorang anak bungsu yang biasanya penuh kemanjaan dan kasih sayang. Kehadiran seorang anak yang 'tidak diharapkan'. Seorang anak yang rengekan meminta sekolah namun dijawab dengan jeratan tali di sekujur tubuh dan diikat pada sebatang pohon. Atau, karena kemarahan sepele, semalaman tidak dibolehkan masuk ke rumah.

Nilai-nilai keagamaan dihadirkan dengan halus. Bisa jadi semangat berbuat kebaikan itu membawa kita pada kebaikan, namun semangat itu bisa juga menyampaikan kepada kesengsaraan. Apa faedahnya berbangga-bangga kesuksesan anak? Ketika di masa tua tidak ada satu pun anak yang bisa menemui dan menemani orang tua. Banyak pelajaran yang kita dapat dari novel ini. Sangat perlu dibaca oleh orang tua dan juga anak muda.

Judul Novel                 : Senandung Bisu

Penulis                         : Aguk Irawan MN

Penerbit                       : Republika Penerbit

Cetakan                       : I, Februari 2018

Tebal Halaman            : viii + 388 halaman

ISBN                           : 978-602-082-229-0

Peresensi                     : Supadilah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun