Mohon tunggu...
Sunu Purnama
Sunu Purnama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pria sederhana yang mencintai dunia sastra kehidupan.

mengapresiasi dunia...lewat rangkaian kata...^^

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Revolusi ala Larasati

1 Oktober 2017   18:48 Diperbarui: 1 Oktober 2017   19:23 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Revolusi -- dia adalah guru. Dia adalah penderitaan. Tetapi dia pun harapan. Jangan khianati Revolusi !"

~Pramoedya Ananta Toer

Di masa kemerdekaan, di saat Republik ini masih balita, Larasati mencoba menjadi bagian dari perjuangan revolusi republik ini.
Sebagai seorang bintang film, dia juga berkehendak menjadi satu dengan semangat merdeka yang masih hangat-hangatnya.
Dari pedalaman kota berhati nyaman, Yogyakarta lalu hijrah ke pusat kota Jakarta yang masih kacau balau inilah cerita roman perjuangan ini diceritakan oleh Maestro sastra yang tidak diakui di zaman orde baru, Pramoedya Ananta Toer.

" Walaupun masih muda, bagi Ara (panggilan Larasati) sejarah penuh dengan rangkaian pengalaman dahsyat."

Itulah pengakuannya selama berada bersama dengan anak-anak muda ikut bergerilya senyap di seberang kali Bekasi, ketika para pemuda dengan granat dan revolver menyerang patroli Nica.
Namun memang perjuangan tidak selalu mulus, ada saja penghianat yang menjadi kutu busuk Republik, yang dalam roman ini Pram mengambil keturunan Arab bernama Juswan, seorang pemain gambus sebagai seorang mata-mata yang tega menunjuk hidung para pejuang yang melawan Nica yang hampir tamat riwayatnya di bumi manusia ini.

Sebuah ironi yang perih harus dialami Larasati ketika harus menyerah kepada keadaan buruk saat itu dan harus rela dijadikan teman tidur orang Arab yang sangat dibencinya, dimana ibunya, Lasmidjah, hidup menjadi babu orang Arab tersebut.

Roman tragis hidup seorang bintang film yang mau tidak mau merasakan pahit getirnya arti sebuah revolusi perjuangan,

" Kini ia dapatkan gambaran tentang dirinya sendiri agak jelas, kadang samar : menolak seluruh bentuk penjajahan apapun. Ia tak membutuhkan kehancuran orang lain dan dirinya sendiri. Ia inginkan suatu kehidupan damai, di mana ia dapat membaktikan seluruh hidupnya dengan kecakapan satu-satunya yang dimilikinya: main film."

Inilah gambaran yang ingin diutarakan lewat romannya ini oleh Pram, yang kita tahu sendiri hidupnya seperti dikucilkan, dibuang jauh sampai ke Pulau Buru, dan melalui duka derita serta penjara dan merasa kalah,

" Ia tersenyum. Aku sudah kalah sekarang, tapi Revolusi belum lagi bangkrut! Aku sudah kalah tapi besuk, mungkin lusa, mungkin sebulan, mungkin setahun lagi, akupun akan menangkan dia! Ia terharu. Matanya berkaca-kaca. Indahnya dunia ini bila pemuda masih tahu perjuangan!"

Membaca sampai akhir roman ini, saya selalu terngiang-ngiang lagunya Dewa yang berjudul "Kamulah Satu-Satunya",

" Laras hati Berkelana iris janji
Mengukir bisikan Bisikan memacu hasrat
Desir-desir mimpi Isyaratkan legit dunia

Chorus:
Kamulah satu - satunya
Yang ternyata mengerti aku
Maafkan aku selama ini
Yang sedikit melupakanmu

Sgala santun Yang kau endap dijiwaku
Tak terisap dulu Kini kecapkan sesalku
Anyaman cintamu Terkoyak buram mataku

Chorus

Laras hati
Alirkan diri kembali
Membujur tubuhku Sejuk pangkuan dirimu
Tak ingin terbungkus Terbungkus penyesalan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun