Dalam beberapa dekade terakhir, bencana alam telah menjadi isu global yang semakin penting. Gempa bumi, banjir, badai, kebakaran hutan, hingga letusan gunung berapi tidak lagi dianggap sebagai kejadian lokal semata, melainkan peristiwa yang berdampak lintas batas, baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Dalam konteks global, pemahaman tentang konsep dasar bencana alam sangat penting untuk mendorong kerja sama internasional, mitigasi risiko, dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
APA ITU BENCANA ALAM?
Secara umum, bencana alam adalah peristiwa alam yang menyebabkan kerusakan besar pada lingkungan hidup, infrastruktur, dan kehidupan manusia. Namun, dalam kajian global, bencana alam tidak hanya dilihat dari segi fisiknya, tetapi juga dari interaksinya dengan kerentanan manusia dan kapasitas penanganan suatu wilayah. Artinya, bencana terjadi ketika sebuah bahaya alam bertemu dengan masyarakat yang rentan tanpa kemampuan memadai untuk menghadapinya. Bencana tidak hanya sebagai kejadian lokal, melainkan sebagai fenomena yang berkaitan dengan ketimpangan pembangunan, urbanisasi, eksploitasi alam, dan perubahan iklim. Misalnya, banjir yang terjadi di negara-negara kepulauan Pasifik sering dikaitkan dengan naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global. Demikian pula, kebakaran hutan besar di Amazon atau Australia tidak hanya berdampak lokal, tetapi juga memengaruhi emisi karbon dunia dan keseimbangan ekosistem global.
Kajian global juga menyoroti bahwa dampak bencana tidak merata. Negara-negara berkembang, meskipun sering kali memiliki kontribusi kecil terhadap pemanasan global, justru paling rentan terhadap bencana terkait iklim. Faktor kemiskinan, kurangnya infrastruktur, serta sistem peringatan dini yang belum optimal membuat risiko bencana menjadi lebih besar di wilayah tersebut. Menurut laporan Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED), pada tahun 2023 saja tercatat 374 bencana alam besar di seluruh dunia. Asia tetap menjadi kawasan paling rawan, menyumbang lebih dari separuh total kejadian bencana global. Banjir dan badai tropis adalah bencana yang paling sering terjadi, sementara gempa bumi dan tsunami, meski lebih jarang, seringkali menyebabkan korban jiwa yang lebih besar. Kerugian ekonomi akibat bencana alam secara global pun terus meningkat, seiring pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan perubahan iklim. Pada tahun 2023, kerugian ekonomi global akibat bencana diperkirakan mencapai lebih dari 250 miliar dolar AS. Namun, distribusi kerugian ini sangat tidak merata; negara-negara maju cenderung mengalami kerugian ekonomi lebih besar, sementara negara berkembang menanggung korban jiwa lebih banyak.
Letak geografis menjadi salah satu faktor utama yang menentukan risiko bencana. Negara-negara di “Ring of Fire” Pasifik seperti Indonesia, Jepang, dan Filipina lebih sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung api. Sementara itu, negara-negara di pesisir Atlantik dan Pasifik Amerika kerap diterpa badai tropis dan hurikan. Selain itu, kesiapsiagaan dan kualitas infrastruktur sangat memengaruhi besarnya dampak bencana. Negara maju umumnya memiliki sistem peringatan dini yang canggih, infrastruktur tahan bencana, dan sumber daya yang memadai untuk evakuasi serta penanganan pasca-bencana. Sebaliknya, negara berkembang seringkali masih menghadapi keterbatasan dalam hal ini.
Kebijakan dan manajemen bencana juga memainkan peran penting. Regulasi bangunan, tata ruang, edukasi masyarakat, dan koordinasi antar lembaga sangat menentukan tingkat risiko dan kemampuan pemulihan dari bencana. Kondisi sosial ekonomi, seperti tingkat kemiskinan dan kepadatan penduduk, turut meningkatkan kerentanan masyarakat. Wilayah padat penduduk dengan infrastruktur buruk cenderung mengalami dampak lebih parah saat bencana melanda.
Jepang adalah contoh negara maju yang sangat rawan bencana, namun mampu menekan korban jiwa berkat kesiapsiagaan tinggi. Setelah gempa besar dan tsunami tahun 2011, Jepang memperkuat sistem peringatan dini, membangun tembok laut, dan memperketat standar bangunan tahan gempa. Pendidikan kebencanaan dimasukkan dalam kurikulum sekolah, dan latihan evakuasi rutin dilakukan. Hasilnya, meski kerugian ekonomi sangat besar, jumlah korban jiwa bisa ditekan. Amerika Serikat juga menghadapi berbagai jenis bencana, mulai dari badai, tornado, hingga kebakaran hutan dan gempa bumi. FEMA (Federal Emergency Management Agency) menjadi tulang punggung koordinasi nasional, namun pemerintah negara bagian dan lokal memiliki peran besar dalam respons awal. Inovasi seperti sistem peringatan cuaca berbasis aplikasi dan penggunaan drone untuk pemetaan bencana mempercepat proses evakuasi dan penyaluran bantuan. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam respons terhadap bencana besar seperti badai Katrina (2005) dan badai Harvey (2017), di mana kerentanan sosial-ekonomi memperburuk dampak bencana.
Sementara itu, Indonesia sebagai negara kepulauan di “Ring of Fire” sangat rentan terhadap gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan banjir. Tragedi tsunami Aceh 2004 yang menewaskan lebih dari 170.000 jiwa menjadi titik balik dalam pengelolaan bencana nasional. Pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), memperkuat sistem peringatan dini, dan membangun jaringan relawan di tingkat desa. Namun, tantangan masih banyak, seperti keterbatasan infrastruktur di daerah terpencil, edukasi masyarakat yang belum merata, dan koordinasi antar lembaga yang perlu terus ditingkatkan.
Bangladesh adalah salah satu negara paling rawan banjir dan siklon di dunia. Dengan populasi padat dan wilayah dataran rendah, negara ini kerap mengalami bencana besar. Namun, dalam dua dekade terakhir, Bangladesh berhasil menurunkan angka korban jiwa secara drastis melalui pembangunan tempat evakuasi, sistem peringatan dini berbasis komunitas, dan pelatihan relawan. Meski demikian, kerugian ekonomi dan dampak sosial tetap menjadi tantangan besar. Di sisi lain, Haiti adalah contoh nyata bagaimana kemiskinan memperburuk dampak bencana. Gempa bumi tahun 2010 menewaskan lebih dari 300.000 jiwa dan meluluhlantakkan infrastruktur negara. Keterbatasan sumber daya, lemahnya pemerintahan, dan kurangnya sistem peringatan dini membuat proses pemulihan berjalan sangat lambat. Bantuan internasional sangat diperlukan, namun seringkali terhambat oleh birokrasi dan masalah keamanan. Perubahan iklim juga memperburuk frekuensi dan intensitas bencana seperti banjir, kekeringan, dan badai tropis. Urbanisasi yang pesat tanpa perencanaan tata ruang yang baik meningkatkan risiko bencana di kota-kota besar. Kota-kota pesisir di Asia, Afrika, dan Amerika Latin kini menghadapi ancaman banjir rob dan badai yang lebih besar akibat kenaikan permukaan laut.