Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Agak Laen: "Omon Koson" Politik, Jalan Buntu Demokrasi

22 Februari 2024   19:45 Diperbarui: 22 Februari 2024   20:09 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: tandaseru.di/gurusiana.id

Ungkapan "Banyak jalan menuju Roma" sepertinya tidak berlaku untuk digunakan sebagai cara atau metode alternatif menuju demokrasi Indonesia yang bersih dan sehat.

Sebab jalan apapun yang telah coba ditempuh untuk menuju demokrasi bersih dan sehat masih saja terbentur oleh patologi politik yang sedekat ini belum mampu diminimalisir apalagi dimusnahkan.

Patologi politik merupakan sebentuk gangguan atau segala hal yang dapat menghambat jalannya proses pelaksanaan menuju terciptanya demokrasi bersih dan sehat.

Bahayanya, patologi politik yang semakin menahun ternyata mampu membelokkan idealisme personal dan kelompok, yang sejatinya membawa semangat konstitusi dan niat yang bersih serta pikiran positif atau sehat ketika pertama kali terjun ke kancah politik.

Dari sebuah jurnal politik berjudul, "Kungkungan Patologi Politik Hancurkan Budaya Luhur Bangsa" yang di tulis oleh M Sidi Ritaudin, ada tiga bentuk patologi politik yang dapat diidentifikasi, yaitu transactional politics, abuse of power dan conflict of interest.


Satu, transactional politics yang diterjemahkan sebagai transaksi atas janji-janji, kesepakatan-kesepakatan dan balas budi politik atas jasa politik baik antar elite politik, politisi dengan konstituen hingga politisi dengan pengusaha atau penyandang dana yang masing-masing mempunyai agenda terselubung yang ujungnya akan meloloskan suatu kepentingan, pastinya akan menyempitkan jalur politik bagi para politisi tanpa transaksi.

Dua, abuse of Power, secara sederhana dimaknakan sebagai penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Penyalahgunaan yang umumnya dilakukan melalui berbagai cara dengan mengatasnamakan jabatan atau kedudukan yang ditujukan untuk meraih kepentingan tertentu.

Tiga, conflict of interest atau pertentangan kepentingan yang dapat diartikan suatu keadaan penyelenggara atau pemerintah, kelompok atau partai dan koalisinya serta legislatif, eksekutif atau yudikatif yang memiliki kepentingan pribadi, kelompok, partai, lembaga atau institusinya dalam wewenang atau kuasanya sehingga dapat memengaruhi berbagai kebijakan dan keputusan strategis yang menguntungkan diri, kelompok, partai, lembaga atau institusinya.

Ketiga bentuk patologi politik tadi bila dicermati cenderung mengarah pada satu diksi, yakni 'kepentingan'. Lalu apa yang membuat kepentingan menjadi begitu seksi untuk digapai? Mengapa kepentingan menempati posisi di atas pertemanan bahkan permusuhan?

Jusuf Kalla pernah berkata, "Jadi politik itu dinamis sekali, karena itulah dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Hari ini berlawanan, tapi ujungnya bersamaan. Itu biasa saja dalam politik," Jakarta, Selasa 25/5/2019 (cnnindonesia.com). Perkataan Jusuf Kalla sejalan dengan adagium "Dalam politik itu tidak ada pertemanan abadi dan permusuhan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi".

Banyak politisi bahkan masyarakat yang terbilang awam tentang dunia politk, mengatakan hal yang senada tentang adanya kepentingan abadi yang mampu menafikan pertemanan abadi dan permusuhan abadi. Narasi tersebut rasanya terus bergema terhitung sejak awal reformasi hingga pemilu tahun ini.

Tapi sungguh tanpa disadari, sepertinya diksi 'kepentingan' yang diperkuat dengan diksi 'abadi' yang membentuk frasa 'kepentingan abadi' yang terus bergema memiliki kecenderungan 'agak laen' dalam menghambat demokrasi bersih dan sehat. Frasa 'kepentingan abadi', memenuhi alam bawah sadar manusia untuk menutup jalur-jalur yang bersih dan sehat sehingga menghadirkan jalan buntu bagi demokrasi yang demikian.  

Lebih dalam, ketika frasa itu sanggup menguburkan frasa pertemanan abadi dan permusuhan abadi, kepentingan abadi mempunyai tendensi kuat menjadi biang kerok rusaknya demokrasi di sepanjang perjalanan sejarah demokrasi Indonesia usai bergulirnya rezim orde baru.

Parahnya, dengan menyaksikan berbagai hasil reportase pemilu 2024 biang kerok tersebut terindikasi menguat. Frasa kepentingan abadi teridentifikasi sangat terbuka (overtcover) dan sangat jelas pula menafikan frasa pertemanan abadi dan permusuhan abadi.

Bagi para politisi, adagium yang menarasikan tak ada pertemanan abadi dan permusuhan abadi kecuali kepentingan abadi adalah hal yang dinamis dan biasa saja dalam ranah politik. Padahal akar masalahnya justru berada di titik itu.

Oleh karena disitu pulalah ujung dari korban politik lagi-lagi kembali ke rakyat, yang dalam negara demokrasi seharusnya jadi pemegang kekuasaan tertinggi. Tapi malang, kekuasaan rakyat dalam demokrasi selama ini masih sebatas simbolisasi. Coba perhatikan dinamika politik yang terjadi pada pemilu sekarang bila dinilai sebagai sesuatu yang dinamis dan biasa saja!

Vote buying yang ternyata masih terjad sebagai aktivitas penawaran harga untuk suara dengan alat tukar material uang, sembako atau lainnya, yang menjadi bagian dari money politics terkesan tetap dianggap biasa saja meskipun dinilai sebagai bentuk pelanggaran pemilu. Sementara seperti diketahui, janji-janji politik jelas belum bisa langsung ditepati oleh para kandidat.

Lihat juga sejumlah elite politik yang lompat sana loncat sini seumpama seekor bunglon yang terus beradaptasi dan menyesuaikan warna tubuhnya terhadap lingkungan! Sebuah bukti "omon koson" politik yang dipertontonkan ketika kepentingan abadi mampu menafikan pertemanan abadi dan permusuhan abadi dalam realitas nyata yang sangat terbuka.

Contoh konkret, pada pemilu lima tahun yang lalu, seorang politisi pernah mengungkapkan alasannya tidak mendukung Prabowo dengan berkata, "He may be a good man, but i can not support him karena dia punya sejarah kelam". Dan pada pemilu lima tahun kemudian, clink! Dalam suatu debat usai berlangsungnya debat calon presiden, politisi tersebut tampak mati-matian membela Prabowo.

Seperti telah diketahui terkait sejarah kelam yang dimaksud adalah penculikan aktivis 97-98, yang menyeret nama Prabowo Subianto untuk ikut bertanggung jawab. Penuntutan tanggung jawab atas isu pelanggaran HAM tersebut bahkan tak henti-hentinya digaungkan oleh para aktivis 98 lainnya yang telah menjadi bagian dari elite politik hingga elite pemerintahan.

Tetapi lagi-lagi, rakyat dipertontonkan drama frasa kepentingan abadi yang mampu menggeser pertemanan abadi dan permusuhan abadi. Saat sejumlah elite politik yang juga elite pemerintahan yang dulunya berseberangan dengan Prabowo terutama soal isu pelanggaran HAM, kini malah berbalik mendukung Prabowo dan berada di garda terdepan.   

Maka sebenarnyalah segala hal yang dianggap dinamis dan biasa saja yang terjadi dalam politik terkait adagium tak ada pertemanan abadi dan permusuhan abadi yang ada hanya kepentingan abadi, adalah biang kerok hancurnya demokrasi. Sebab tak secuilpun terbersit niat dalam adagium yang menyentuh sisi frasa "demi bangsa dan negara" (demi rakyat). Sisi yang menurut budayawan Sujiwo Tejo dalam suatu kesempatan diskusi dalam sebuah acara, "tidak ada" alias "omon koson".

Sebuah "omon koson" politik melalui perspektif agak laen, mengargumentasikan bahwa adagium tersebut merupakan "omon koson" politik yang membuat jalan buntu bagi demokrasi menuju demokrasi bersih dan sehat. Karena di ujungnya, jalan buntu demokrasi hanya akan menunjukkan ke satu arah, yaitu bahwa rakyat adalah korban politik bagi para pelaku politik yang berupaya meraih berbagai kepentingan, baik kedudukan, jabatan, kuasa dan lainnya.

Tengok saja narasi-narasi yang dibangun oleh masing-masing tim pemenangan pendukung paslon ketika film dokumenter Dirty Vote yang cenderung bermaksud mengedukasi dan menyebarkan informasi tentang adanya potensi kecurangan dalam pemilu, yang semestinya diatensi secara cerdas dan intelektual, ternyata diatensi dengan ambisi dan arogansi persepsi masing-masing kubu. 

Satu sisi, Dirty Vote ditangkap sebagai petunjuk adanya kecurangan pemilu terstruktur sistematis dan masif, yang dilakukan oleh salah satu paslon hingga berakhir dengan munculnya narasi hak angket ketika hasil quick count dan real count menunjukkan kemenangan untuk salah satu paslon.

Di titik itu jelas, ilmu politik tidak pernah mengajarkan pelaku-pelaku politik yang terlibat di dalamya untuk memiliki kebesaran jiwa. Pada kesempatan tersebut kebesaran jiwa yang dimaksud adalah menerima kekalahan dengan berlapang dada. Ikhlas. Tapi nyatanya, selalu saja kubu yang kalah menarasikan pemilu curang.     

Di sisi lain, Dirty Vote ditangkap sebagai fitnah dan kebencian tak berdasar serta mengatakannya sebagai informasi yang asumtif dan tidak ilmiah. Lalu mempertanyakan kapasitas pakar hukum yang menjadi tokoh yang terlibat di dalam film. 

Kemudian, seperti kritik dan protes yang sudah-sudah terhadap indikasi kecurangan dan kegelisahan akan kerusakan demokrasi yang ditimbulkan oleh pelanggaran etika yang digaungkan kalangan akademisi, sivitas akademik dan kaum intelektual, Dirty Vote disebut tidak hadir independen atau berdasar kegelisahan hati, melainkan sesuatu yang cenderung dimunculkan dan diarahkan sebagai dukungan atas salah satu paslon atau dengan kata lain, pesanan politik.

Artinya, kritisi kegelisahan rakyat yang timbul dari kalangan manapun atas situasi politik selalu diprasangka negatif, dianggap bagian dari partisan dan simpatisan salah satu paslon, dan tidak lahir dari kegelisahan hati sesungguhnya. Di titik ini, lagi-lagi rakyat jadi korban politik atas hak kebebasan berpendapat dengan tuduhan itu.      

Tetapi sadarkah masyarakat, bahwa seteru atau pro kontra kedua sisi narasi yang demikian hanya sementara. Ibarat dua anak kecil yang bertikai lalu mengadu pada orang tua masing-masing sampai kelanjutannya, orang tua dari masing-masing anak masih bermusuhan, namun kedua anak sudah berbaikan dan bermain bersama lagi.

Begitu pula "omon koson" politik dengan mengacu pada adagium atas frasa 'kepentingan abadi'. Bedanya dalam demokrasi, yang tetap berseteru adalah para pendukung paslon di tingkat konstituen atau rakyat pemilih. Sementara para politisi atau elite politik di tingkat atas sudah berbaikan atas nama kepentingan abadi. Inilah biang kerok yang menciptakan jalan buntu bagi demokrasi untuk menuju bersih dan sehat.

Jalan buntu demokrasi yang diciptakan oleh frasa kepentingan abadi tidak akan membawa demokrasi Indonesia kemana-mana kecuali berputar di wilayah yang sama, yaitu membela hanya untuk kepentingan abadi bukan untuk membela kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Maka dalam frasa kepentingan abadi terimplikasi bahwa dalam jalan buntu demokrasi, rakyat adalah korban politik yang disesatkan di jalan buntu demokrasi oleh para elite politik. Oleh karena itu, konteks agak laen merupakan cara untuk menerjemahkan adagium frasa kepentingan abadi yang mampu meniadakan frasa pertemanan abadi dan permusuhan abadi sebagai "omon koson" politik alias omong kosong politik. 

Jadi berhentilah menggemakan adagium, "dalam politik tidak ada teman abadi dan musuh abadi yang ada hanya kepentingan abadi" lalu menilainya sebagai sesuatu yang dinamis dan biasa saja. Ini jebakan. Ini "omon koson" politik. "Politics bull shit"

Referensi

https://suarajelata.com/2019/03/07/patologi-politik/

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190627210654-32-407163/rekonsiliasi-politik-dan-kekhawatiran-rusaknya-demokrasi   

    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun