Diskusi daring (23/5/2025) bertajuk "Student Voice: Menyuarakan Suara Anak Indonesia" yang diselenggarakan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) berhasil menghadirkan dinamika pemikiran yang tajam dan inspiratif. Mengangkat tema "Voice of Youth: Berisik, Bukan Bisik-Bisik." Forum ini membuka ruang bagi anak muda dan para pendidik untuk menyuarakan keresahan mereka terhadap sistem pendidikan Indonesia yang selama ini dirasa kurang memberi ruang pada suara siswa.
Kegiatan ini melibatkan mahasiswa relawan dari Gerakan Turun Sekolah (GTS), yaitu Qurota 'Aini Salsabila (UNY) dan Nihayatus Sa'adah (UIN), serta Alia Azzahra, alumni Fisipol UGM yang kini tergabung dalam GSM Muda. Dipandu oleh Sekar, diskusi berlangsung interaktif dan penuh semangat.
Para narasumber memotret realitas lapangan saat mereka mengikuti program GTS. Temuan utama yang mencengangkan adalah bahwa 85% siswa menyatakan tidak suka belajar. Angka ini membuka perdebatan mendalam terkait relevansi metode dan pendekatan pembelajaran yang digunakan saat ini. Mereka juga menemukan bahwa banyak siswa yang belum mampu menyampaikan mimpi dan harapan mereka di masa depan.
"Anak-anak belum diarahkan untuk mengenali potensi dirinya," ujar Alia dalam paparannya. Ia juga membandingkan pengalamannya saat sekolah di Australia, yang jauh lebih terbuka dalam menghargai pendapat siswa, bahkan hingga ke tingkat parlemen.
Diskusi ini turut menyoroti pentingnya memberi ruang pada student voice---gagasan bahwa suara siswa perlu mendapat tempat dalam proses pendidikan. Alia mencontohkan tokoh-tokoh muda seperti Malala, Greta Thunberg, dan Melati Wijsen sebagai bukti bahwa anak-anak bisa menyuarakan perubahan jika diberi kesempatan.
Dalam sesi dialog, guru yang memberikan pendapat. Pak Denny Rochman mempertanyakan perlunya mendengar semua suara siswa, namun Bu Ifa menekankan bahwa mendengarkan adalah bagian dari mendidik. Bu Eva menambahkan bahwa dialog antara guru dan siswa bisa menjadi cara efektif untuk membantu siswa mengenali keinginannya sendiri, sementara Bu Eli menyatakan bahwa suara siswa adalah kekuatan pembelajaran di daerah Supiori, Papua.
Pegiat GSM, Pak Ali, menyatakan bahwa suara siswa adalah "suara yang tak tertulis di rapor," namun justru menjadi esensi pendidikan yang bermakna. Ia mengkritik sistem pendidikan yang selama ini terlalu memusatkan perhatian pada nilai dan angka.
Pendapat tak terduga yang menggugah datang dari Agnan Rizky, seorang siswa SMK yang menyampaikan kegelisahannya terhadap sistem pendidikan Indonesia yang terus berubah dan seragam. Ia berharap para guru memberi ruang pada ide dan gagasan siswa, agar mereka tidak takut mengungkapkan potensi yang dimiliki.
Diskusi ini menunjukkan bahwa student voice bukanlah sekadar wacana, tetapi kebutuhan mendesak dalam upaya membangun pendidikan yang lebih mencintai, manusiawi, dan relevan. Suara siswa adalah kunci untuk membentuk pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna. Dengan data nyata, pengalaman lapangan, dan idealisme yang kuat, generasi muda membuktikan bahwa mereka siap menjadi motor perubahan bagi masa depan pendidikan Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI