Padahal, istilah “guru”, “murid”, dan “sekolah” sudah lekat dan memiliki akar budaya di masyarakat. Istilah-istilah itu memiliki makna luas. Pendidikan dalam arti luas termasuk pendidikan di masyarakat. Ada yang berupa kegiatan belajar-mengajar, seperti belajar ngaji, pencak silat. Tetapi ada juga pendidikan melaui praktek langsung dalam kehidupan, misal melalui pergumulan berupa interaksi sosial di masyarakat, atau memupuk jiwa wirausaha melaui praktek langsung membuka usaha bersama keluargal.
Maka, hubungan antara “guru” dan “murid” merupakan hubungan patron - klien, yang di dalamnya terkandung norma-norma. Guru menyayangi murid, sebaliknya murid menghormati guru. Dalam khasanah budaya Jawa, ”guru” asal kata digugu lan ditiru - (wajib) dipercaya dan diteladani. Guru, bisa guru ngaji, atau orang yang dituakan di lingkungannya yang perilakunya sering dijadikan suri tauladan. Sebagaimana di Nusa Tenggara Barat, tokoh agama, orang alim disebut Tuan Guru. Itu baru soal istilah yang diduga menjadi salah satu penyebab pendidikan terlalu formalistik dan kurang membumi.
Ki Hajar Dewantara
Jika bertanya bagaimana konsep pendidikan Indonesia? Jawabnya adalah konsep pendidikan yang telah ditanamkan oleh Ki Hajar Dewantara alias Suwardi Suryaningrat. Ki Hajar pernah mengenyam pendidikan Barat, pendidikan Belanda, tetapi tidak larut, justru mengkritik bahwa pendidikan Barat terlalu intelektulistik dan materialistik. Dan ia menegaskan sistem pendidikan Barat tidak sesuai untuk mendidik anak-anak Indonesia.
Ki Hajar tidak hanya mengkritik pendidikan Barat, tetapi juga mengimplementasikan pendidikan yang sesuai bagi bangsa Indonesia dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa. Ia menerapkan prisip yang mendasari pendidikan, yaitu sistem among. Semboyannya yang terkenal tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan) yang hingga kini menjadi semboyan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dimana murid dibina agar mampu “berjalan sendiri”, menjadi manusia merdeka yang dapat mengambil keputusan bebas (J.B. Soedarmanta, 2007).
Sebenarnya semboyam selengkapnya, yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha (kalau di depan atau jadi pemimpin termasuk guru, harus memberi contoh yang baik atau teladan), Ing Madya Mangun Karsa (kalau di tengah, diantara yang dipimpin harus memberi prakarsa atau ide), baru Tut Wuri Handayani. Semboyan ini sebenarnya bersifat umum, bisa diterapkan dalam kehidupan yang lebih luas, termasuk kehidupan berbangsa. Maka untuk semboyan Kemdiknas cuma mengambil satu kalimat, Tut Wuri Handayani. Sedangkan konsep pendidikan Ki Hajar mengandung makna lebih luas
Konsep pendidikan Ki Hajar merupakan fondasi sistem pendidikan nasional Indonesia. Yang kemudian diatur, antara lain melalui UU Pokok Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950 junto Nomor 12 tahun 1954, UU Nomor 2 tahun 1962 tentang Perguruan Tinggi, dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1965 (Tillaar: 1995). Berikutnya ada UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan yang berlaku sekarang UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioal.
Tanggung Jawab Bersama
Sebagaimana kesehatan, pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara. Pendidikan sebagai investasi untuk kemajuan bangsa di masa depan. Maka, implementasi pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, diantara pemangku kepentingan (pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, guru, kalangan dunia usaha, masyarakat/orang tua murid) sesuai kewenangan, bidang, dan peran masing-masing.
Sedangkan sasarannya adalah seluruh warga bangsa. Mengingat pendidikan adalah wajib sepanjang hayat manusia. Sehingga konsep pendidikan sebagai gerakan semesta, artinya pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan menjangkau semua. Sebagaimana dikenal ada pendidikan formal, non formal, dan informal.
Atas dasar itu, contohnya di Kota Tangerang, merespon fenomena maraknya peristiwa perilaku seks menyimpang dan tindak kekerasan akhir-akhir ini, pertengahan Mei 2016, Walikota Tangerang mencanangkan program “Maghrib Wajib Mengaji dan Belajar”. Setidaknya, dua jam antara pukul 18.00 sampai 20.00 setiap hari, para orang tua harus mengontrol anak-anaknya agar tidak nonton televisi, main telepon seluler, media sosial atau game. Dan sebaliknya, mendampingi anak-anak mengaji dan belajar. Pencanangan program tersebut merupakan masukan atau usulan dari para tokoh masyarakat dan tokoh agama.