Mohon tunggu...
Sumarno
Sumarno Mohon Tunggu...

Mencari dan mencari terus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan, Tanggung Jawab Bersama untuk Semua

25 Mei 2016   22:43 Diperbarui: 27 Mei 2016   12:38 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://4.bp.blogspot.com/-PRDhn5YzaiE/VHRig0OfcgI/AAAAAAAAAOY/AU6puhSAhAg/s1600/Masa%2BDepan%2BIndonesia%2BDi%2BPundak%2BGuru.png


Persoalan terbesar bangsa Indonesia sekarang adalah terjadinya degradasi moral masyarakat. Setidaknya tiga penyakit masyarakat tergolong besar yang kini mendera bangsa ini. Yaitu; korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); penyalahgunaan Narkoba; dan perilaku seks menyimpang yang disertai tindak kekerasan. Ketiganya seperti lingkaran setan, bisa saling terkait dan saling memengaruhi.

Dari sisi pelakunya, KKN dilakukan kalangan tertentu, pejabat atau pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terkait kewenangan pejabat yang bersangkutan dan korbannya adalah rakyat! Sedangkan penyalahgunaan Narkoba dan perilaku seks menyimpang serta tindak kekerasan pelaku sekaligus korbannya berbagai kalangan. Baik pejabat, kalangan menengah, maupun rakyat jelata, dari orang tua sampai anak-anak.

Walau telah dilakukan berbagai upaya penanggulangan, ketiga penyakit masyarakat tersebut kian akut. Dampak negatifnya sangat luar biasa, berpotensi mengancam eksistensi bangsa ini. Terkait Narkoba, misalnya, sampai Presiden Joko Widodo menyatakan negara kita sedang dalam keadaan darurat Narkoba disertai langkah-langkah peningkatan penanggulangannya.

Ketiga penyakit masyarakat tersebut ibarat puncak gunung es.  Masih banyak betuk penyimpangan lainnya yang menggerogoti bangsa ini. Penanggulangan secara instan dan terkesan reaksioner berupa pemberantasan dinilai kurang cukup efektif. Kejahatan luar biasa (extra ordinary cime) memerlukan tindakan yang luar biasa pula. selaian pemberantasan juga perlu dilakukan pencegahan. Untuk jangka panjang pencegahan dengan pembentukan karakter melalui pendidikan. Pertanyaannya, sampai di manakah peran pendidikan dalam pembangunan karakter bangsa? Bagaimana konsep pendidikan yang sesuai dengan karakeristik bangsa Indonesia?

UU Sisdiknas

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehdupan bangsa. Adapun tujuan pendidikan nasional, untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.  

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut terkesan ideal. Sudah 13 tahun Undang-undang produk era reformasi itu diberlakukan. Mestinya sudah menunjukkan dampak positifnya, progres menuju bangsa yang bermartabat. Namun, sangat miris tatkala melihat kondisi kehidupan bangsa yang terus didera persoalan moralitas. Apa yang salah? Apakah UU Sisdiknas masih banyak kekeliruan, konsep pendidikan yang dijadikan landasar tidak sesusi bangsa Indonesia? Atau pada tataran implementasi yang belum sesuai dengan isi UU Sisdiknas?

Ada yang menarik untuk dicermati. Istilah “murid” atau “siswa” sudah membumi di masyarakat, namun dalam UU Sisdiknas menggunakan istilah “peserta didik”. Menurut UU tersebut, “peserta didik” adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Demikian pula untuk menyebut “guru”, dalam UU Sisdiknas menggunakan stilah “pendidik”. Yaitu, tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Memang, dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 menyebut Guru dan Dosen.

Bisa saja ada argumentasi, bahwa istilah “peserta didik”, “pendidik”, dan juga “satuan pendidikan” (untuk menyebut sekolah) merupakan bahasa ilmiah, bahasa hukum, bahasa manajemen pendidikan atau istilah yang bersifat umum. Tetapi istilah-istilah itu juga banyak digunakan dalam dokumen maupun kegiatan di sekolah. Sebut saja dokumen Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS), dokumen Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP), dan kegiatan Penerimaan “Peserta Didik” Baru. Bagaimanapun penggunaan istilah-istilah tersebut di sekolah merubah paradigma atau kesan terhadap dunia pendidikan menjadi formalistik dan kurang membumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun