Mohon tunggu...
SUMARLIN ZBUTIARAHMAN
SUMARLIN ZBUTIARAHMAN Mohon Tunggu... Dosen - analis hukum

Analis Hukum, Rimbawan, Pemerhati Lingkungan, Dosen

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pemecatan ASN yang Berlaku Surut dan Konsekuensinya terhadap Keterlanjuran Pembayaran Gaji dan Hak Lainnya

9 Juni 2022   08:54 Diperbarui: 2 September 2022   19:10 1623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Untuk memahami persoalan yang pertama kita dapat merujuk pada perkara yang pernsh diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra ke Makamah Konstitusi terkait status Jaksa Agung Hendarman Supanji. Hendarman Supanji dilantik oleh Presiden SBY pada Tahun 2004, masa jabatan Presiden adalah 5 Tahun yang artinya jabatan Jaksa Agung berakhir pada tahun 2009 seiring berakhirnya masa jabatan Presiden. Namun tanpa ada SK pelantikan baru Hendarman tetap melanggeng menjadi Jaksa Agung hingga statusnya digugat oleh Yusril.

MK yang saat itu dikomando oleh Mahfud MD, memeriksa dan memutus perkara itu yang amar putusannya antara lain,  "terhadap jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji, terhitung keputusan ini dibaca, Rabu, 22 September 2010  pukul 14.35, Hendarman tak sah lagi mengemban jabatan Jaksa Agung.  

Secara substansi MK ingin menyampaikan bahwa sebenarnya Hendarman Supanji sudah tidak sah lagi menjabat sebagai Jaksa Agung sejak berakhirnya Kabinet Indonsia Bersatu Jilid 1 pada Tahun 2009, Namun dalam hal penerapan hukum tidaklah hanya berpegang pada asas legalitas, asas keadilan dan asas kemanfaatan juga harus menjadi bahan pertimbangan. 

Jika Mahfud MD menyatakan tidak sahnya jabatan agung sejak berakhirnya kabinet jilid 1 sejak tahun 2009, permasalahan yang akan muncul adalah bagaimana implikasinya terhadap perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh Hendarman Supanji antara berakhirnya jabatan kabinet Indonesi bersatu jilid I hingga dibacakannya keputusn ini.

 Penandatangan surat-surat, penggunaan anggaran, penerbitan aturan, kegiatan seremonial, dan lain sebagainya yang mengatasnamakan Jaksa Agung. Tentulah implikasinya akan sangat luas.

 

Sekalipun antara kasus Hendarman Supanji dan Perintah SKB 3 pimpinan lembaga tinggi negara berlatarbelakang kasus hukum yang berbeda, namun secara substansi kita dapat menarik benang merah kesamaan dari kedua kasus itu. Diantara PNS yang diberhentikan dengan tidak hormat tanpa hak pensiun terdapat beberapa diantaranya yang telah diaktifkan kembali dan telah bekerja sebagaimana mestinya. 

Dengan pemberlakuan berlaku surut, timbul persoalan baru, bagaimana keabsahan dari perbuatan hukum dan tindakan adminsitrasi yang terlanjur dilaksnakan oleh PNS dimaksud.  Apakah kemudian hasil pekerjaan yang telah selesai dan melibatkan pihak-pihak lain kemudian menjadi batal demi hukum ? 

Selanjutnya secara yuridis, berdasarkan ketentuan, Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali sebagaimana dimaksud pada pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang  Hak Asasi Manusia

Pernyataan tersebut secara tegas menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah bagian dari Hak Azasi Manusia yang setara dengan hak asasi lainnya. Dalam hirarki sistem hukum di Indonesia, berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa UUD Tahun 1945 merupakan produk hukum tertinggi dan haruslah menjadi acuan dalam penyususunan seluruh produk hukum yang berada dibawahnya. Artinya seluruh produk hukum yang diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam UUD tahun 1945.

Selanjutnya pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada"  dan pada ayat (2)  "Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwah diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun