Mohon tunggu...
SUMADI
SUMADI Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DI BAPAS KELAS I TANGERANG

Membantu menambah wawasan masyarakat tentang Hukum Pidana dan Keadilan Restoratif, serta pembaharuan hukum yang berlaku saat ini

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Upaya Penghentian Perkara di Tingkat Kejaksaan melalui Restorative Justice

3 Juni 2023   01:31 Diperbarui: 3 Juni 2023   06:53 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengertian restorasi  adalah pengembalian atau pemulihan sesuatu kepada bentuk dan kondisi semula. Keadilan restoratif (restoratif justice) adalah sebuah pendekatan untuk menyelesaikan konflik hukum dengan menggelar mediasi diantara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum. (sumber: wikipedia Indonesia). Sedangkan pengertian Restoratif Justice menurut hukum merupakan penyelesaian tindak pidana melibatkan pelaku, korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.         

Sejarah lahirnya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 atas keprihatinan Jaksa Agung karena telah banyak terjadi dimasyarakat suatu tindak pidana yang seharusnya tidak perlu diselesaikan melalui jalur pengadilan. 

Mengingat azas yang mengatakan bahwa apabila atau ketika ada masyarakat yang dirugikan dan melaporkan kepada aparat penegak hukum, maka parat penegak hukum wajib menyelesaikan perkara ini hingga tuntas dan seadil-adilnya. Mengingat regulasi di Indonesia belum mengakomodir penyelesaian tindak pidana diluar pengadilan, maka Jaksa Agung mengeluarkan Peraturan Jaksa Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan restoratif justice. Agar masyarakat memperoleh rasa keadilan baik untuk pelaku maupun korban.

Selama ini, keadilan restoratif telah diterapkan melalui upaya Diversi sesuai amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Namun ada batasan usia terkait hal ini, yaitu usia anak. Karena pengertian anak menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maupun Undang-undang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Proses diversi ini melibatkan para pihak diantaranya Anak Pelaku dan orang tua/walinya, korban, Penyidik sebagai fasilitator mediasi tingkat pertama atau Penuntut Umum sebagai fasilitator mediasi tingkat kedua atau Hakim sebagai fasilitator mediasi tingkat akhir, Pembimbing Kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator ditiap tingkatan mediasi. Sedangkan untuk pelaku dewasa belum diakomodir melalui regulasi, baik ditingkat penyidikan, tingkat kejaksaan maupun tingkat pengadilan.

Negara-negara yang telah menggunakan restorative justice sebagai solusi hukum selain pidana penjara yaitu Norwegia dan Belanda. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa selama ini kasus-kasus pidana berakhir pada pidana penjara. Akhirnya semua penjara di Indonesia mengalami overcrowded akibat semua penjatuhan kasus pidana bermuara di penjara atau Lembaga Pemasyarakatan. Untuk itulah dibutuhkan solusi agar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun Rumah Tahanan Negara (Rutan) di Indonesia tidak mengalami over kapasitas yang akan menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas atau Rutan.   

Syarat-syarat orang yang menerima restoratif justice diantaranya adalah pelakunya baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidananya dibawah 5 (lima) tahun, nilai kerugian dibawah 2,5 juta rupiah, dan adanya kesepakatan antara pelaku dan korban melalui jalur mediasi. Contoh kasus yang terjadi dimasyarakat adalah kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban luka-luka maupun cacat permanen, tanpa disengaja dengan dibuktikan oleh dokumen penguat menurut hukum dan saksi ahli dalam bidangnya. 

Kasus kecelakaan lalu lintas ini dapat dilakukan restoratif justice melalui upaya mediasi hingga terjadi kesepakatan antara pelaku dengan korban, apakah berupa penggantian biaya pengobatan atau biaya pendidikan bagi ahli waris yang masih mengenyam pendidikan dan terancam terhenti karena korban tidak dapat membiayai lagi sekolahnya akibat kecelakaan lalu lintas. Contoh kasus lainnya adalah kasus pencurian 3 (tiga) buah kakao yang dilakukan oleh nenek Minah berusia 55 tahun sekira bulan November tahun 2009. 

Nenek Minah dituduh mencuri 3 (tiga) buah kakao diperkebunan milik BUMN didaerah Ajibarang Banyumas Purwokerto. Menurut pengakuan nenek Minah, ia mengambil 3 (tiga) buah kakao untuk bibit, dengan nilai kerugian sekira Rp2.500,-. 

Dan kisah lainnya yaitu kasus nenek Asyani berusia sekira 60 tahun dari Situbondo Jawa Timur yang disidangkan sekira tahun 2019, Nenek Asyani dituduh mencuri 7 (tujuh) batang kayu jati yang menurut informasi dimedia massa diambilnya kayu jati tersebut dari kebunnya sendiri. Hal ini mendapatkan perhatian penuh dari masyarakat luas karena sebenarnya tidak perlu terjadi pemidanaan hingga tingkat pengadilan, andaikan regulasi hukum telah mengaturnya.     

Melalui semangat restoratif justice inilah maka lahir Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restorative. Diharapkan menjadi solusi terbaik untuk tindak pidana berdasarkan syarat-syarat yang disebutkan diatas demi rasa keadilan dimasyarakat. Sekian

( Penulis: Sumadi,S.H.,M.H)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun