Terlepas dari apapun motif pelaku, aparat hendaknya memproses ini secara transparan. Pengusutan harus dilakukan dengan setuntas-tuntasnya supaya polemik ini tidak menjadi bola liar di tengah masyarakat. Atau bahkan menguap dan lenyap begitu saja, sebagaimana yang telah berlalu.
Kesimpulan saya, seandainya pelaku memang benar-benar gila, maka ia terbebas dari ancaman pidana. Namun jika bukti menyatakan bahwa Alfin tidak gila, maka motif di balik itu menjadi penting untuk segera diusut. Termasuk jaringan apa yang mungkin mengikatnya dan membuatnya rela bertindak nekat, serta berapa banyak upahnya jika ia dibayar.
Dua hal yang menjadi fokus perhatian saya. Pertama, peristiwa ini menjadi bukti bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah. Jika Alfin terdidik dengan baik, tentu dia akan berpikir seribu kali untuk melakukan aksi nekat macam itu dan memilih untuk menjauhinya. Bahkan, sepandai apapun jaringan teroris dalam membujuk dan memperdayanya, ia pasti tetap menolak dan menghindarinya.
Kedua adalah soal kesenjangan. Bisa jadi karena kondisi ekonomi Alfin yang kacau, hingga ia memutuskan untuk mencari uang dengan cara yang instan. Atau bisa mungkin karena terlilit hutang. Oleh karenanya ia dengan mudah diperdaya untuk melakukan tindakan kejam tersebut.Â
Jikapun dikatakan bahwa dia gila padahal sebelumnya tidak, mungkin saja 'gilanya' karena lilitan hutang atau ekonomi yang serabutan. Hal ini hendaklah menjadi perhatian pemerintah. Kesenjangan yang masih kerap terjadi haruslah segera diselesaikan agar tidak menimbulkan tindakan kriminal lainnya.