Fandom juga ikut bergerak. Komunitas K-pop di Indonesia, misalnya, pernah menggalang dana untuk korban banjir Jakarta. Di sisi lain, gamer muda di platform Twitch mengadakan live streaming amal untuk membantu anak-anak miskin.
Inilah keunikan aktivisme digital Gen Z: ia tidak hanya menuntut perubahan kebijakan, tapi juga membentuk identitas generasi---sebuah politik gaya hidup yang terus berkembang.
Â
Antara Tantangan dan Potensi
Namun, seperti halnya semua gerakan, aktivisme digital Gen Z tidak bebas dari kritik. Ada yang menilai gerakan ini sebatas "slacktivism"---aktivisme malas---karena lebih banyak berhenti di retweet atau like. Ada pula yang skeptis karena mobilisasi daring sering berumur pendek.
Baca juga:
Kepeloporan Gen Z dalam Menggerakkan Konsumsi Pangan Lokal
Tantangan lain adalah risiko disinformasi. Kecepatan viral sering kali membuat kabar hoaks ikut menyebar. Tanpa verifikasi yang kuat, aktivisme digital bisa kehilangan kredibilitasnya. Selain itu, Gen Z juga menghadapi tantangan dari regulasi internet dan ancaman represi digital.
Namun, setiap gerakan besar selalu lahir dari kontradiksi. Keterbatasan inilah yang memaksa Gen Z terus berinovasi. Mereka belajar memverifikasi informasi, membangun jejaring lintas komunitas, dan menggunakan teknologi enkripsi untuk melindungi ruang diskusi.
Potensi mereka justru terletak pada fleksibilitas dan kreativitas. Tidak terikat oleh format lama, Gen Z bisa mengubah apa saja menjadi medium perlawanan: meme, musik, video 15 detik, atau bahkan tren fesyen. Semua bisa menjadi bahasa politik. Dengan kapasitas ini, aktivisme digital Gen Z bukan sekadar tren sesaat, melainkan fondasi cara baru dalam memperjuangkan keadilan sosial.
Â