"Apa jadinya bila sebuah meme receh yang Anda bagikan kemarin ternyata menjadi bahan bakar demonstrasi di jalan hari ini?"
Pertanyaan itu mungkin terdengar hiperbolis, tapi bagi Gen Z, hal tersebut bukan sekadar imajinasi. Inilah generasi yang menjadikan dunia digital sebagai arena politik baru, tempat meme, thread, dan video singkat berubah menjadi motor penggerak aktivisme sosial. Mereka tidak lagi menunggu panggung konvensional untuk didengar; mereka menciptakan panggung sendiri di timeline, di FYP, dan di kolom komentar yang setiap hari kita lewati.
Dunia Maya, Arena Politik Baru
"Kalau nggak viral, rasanya percuma." Penggalan percakapan seperti ini sudah menjadi menjadi ungkapan umum dalam forum obrolan spontan hingga diskusi wacana di kalangan mahasiswa dan aktivis Gen Z. Kalimat itu terdengar remeh, tetapi di situlah letak pergeseran besar zaman. Bagi generasi digital native, politik dan aktivisme bukan lagi sekadar soal podium, spanduk, atau rapat akbar. Dunia maya adalah panggung utama.
Baca juga:
Kepeloporan Anak Muda dalam Narasi Perjuangan Bangsa Indonesia
Mereka tumbuh bersama media sosial, terbiasa berekspresi lewat Twitter, TikTok, Instagram, hingga Discord. Isu-isu besar---mulai dari perubahan iklim, kesetaraan gender, sampai pelemahan demokrasi---mengalir deras dalam bentuk tagar, meme, dan konten singkat. Dan seringkali, hal-hal yang viral di linimasa justru lebih memengaruhi arah percakapan publik ketimbang konferensi pers pejabat.
Fenomena ini menandai kelahiran aktivisme digital sebagai kekuatan politik baru. Jika dulu mahasiswa generasi 1998 menempuh jalan turun ke jalan, Gen Z menemukan kekuatan lewat trending topic. Petisi daring di platform Change.org bisa mengumpulkan ratusan ribu tanda tangan hanya dalam hitungan hari. Crowdfunding bisa menggalang donasi untuk korban bencana lebih cepat daripada proposal birokrasi.
Kekuatan itu sudah terbukti. Pada 2019, tagar #ReformasiDikorupsi meledak di Twitter dan Instagram, menyulut gelombang demonstrasi mahasiswa di berbagai kota. Aksi yang awalnya lahir di linimasa berubah menjadi mobilisasi nyata di jalanan. Fenomena ini menegaskan satu hal: aktivisme Gen Z tidak tidak lagi tampil serius dengan wajah muram, melainkan lewat media digital. Dengan cara ini politik bisa menjadi cair, menyenangkan, dan dekat dengan keseharian.
Â