Humor sebagai Senjata Politik
Jika dulu poster protes dihiasi tulisan serius seperti "Reformasi atau Mati!", Gen Z memilih jalan berbeda: mereka membawa humor. Meme politik, video TikTok satir, hingga parodi musik menjadi senjata yang tak kalah tajam.
Humor ini bukan sekadar hiburan. Ia adalah bahasa yang paling mudah dipahami lintas kelas sosial. Meme tentang harga beras, misalnya, bisa menjangkau orang yang mungkin tak terbiasa membaca laporan ekonomi. Dengan satu gambar atau satu kalimat lucu, pesan politik bisa tersebar luas dan lebih lama bertahan di ingatan publik.
Aktivisme Gen Z juga menunjukkan bahwa humor bisa melucuti ketakutan. Dalam situasi politik yang penuh tekanan, lelucon menjadi cara untuk tetap kritis tanpa harus selalu tampil konfrontatif. Meme membuat isu yang rumit jadi sederhana, membuat publik berani membicarakan hal-hal yang dianggap tabu.
Contoh paling jelas adalah kampanye #PercumaLaporPolisi pada 2021. Berawal dari meme satir tentang sulitnya mencari keadilan, tagar ini berubah menjadi perbincangan nasional. Meme-meme kocak soal polisi viral di media sosial, tapi isunya sangat serius: hilangnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Gen Z tahu benar: di era atensi serba cepat, humor adalah pintu masuk, tapi tujuan akhirnya tetap sama---perubahan sosial.
Â
Dari Trending Topic ke Gerakan Kolektif
Kekuatan utama aktivisme digital adalah kecepatannya mengubah obrolan daring menjadi aksi nyata. Trending topic hanyalah awal. Di balik layar, Gen Z menggunakan WhatsApp group, Discord server, dan Telegram channel untuk menyusun strategi, membagi peran, hingga menggalang logistik.
Contoh paling nyata terlihat dalam solidaritas bencana. Saat gempa Palu (2018) atau erupsi Semeru (2021) melanda, linimasa dipenuhi link donasi. Gen Z tak menunggu lembaga resmi bergerak; mereka langsung menggalang bantuan lewat crowdfunding. Transparansi jadi nilai jual: semua donasi diumumkan, laporan pengeluaran diunggah, bukti distribusi dibagikan.
Baca juga: