Presiden Prabowo Subianto akhirnya membuat keputusan untuk Reshuffle Kabinet Merah Putih pada usia pemerintahannya yang relatif dini. Di balik pintu Istana, reshuffle kabinet Prabowo-Gibran ini digambarkan sebagai ritual penyegaran. Namun bagi publik, langkah ini justru membuka luka lama: politik yang masih dikuasai kelompok tertentu, janji perubahan yang kian kabur, dan kegelisahan ekonomi yang tak kunjung reda. Nama-nama baru masuk, sebagian membawa aura segar, sebagian lain menghidupkan kembali bayang-bayang lama. Legitimasi pemerintahan pun dipertaruhkan--apakah akan berdiri kokoh di atas kepercayaan rakyat, atau goyah karena dominasi elite yang menutup telinga dari jeritan harga beras, BBM, dan krisis keadilan sosial.
Dalam teori politik, legitimasi tidak hanya lahir dari kemenangan pemilu. Ia mesti dirawat melalui tiga pilar: representasi, responsivitas, dan hasil nyata. Reshuffle, dengan demikian, bukan sekadar soal siapa yang duduk di kursi menteri, melainkan ujian apakah pemerintah mampu menjawab keresahan publik sekaligus menjaga stabilitas ekonomi dan politik nasional. Jika gagal, bukan tidak mungkin Indonesia akan menghadapi turbulensi lebih besar, dengan demonstrasi dan konflik elite sebagai pemicunya.
Dari titik inilah kita membaca reshuffle bukan semata pergantian nama menteri. Ia adalah cermin dari tarik-menarik pengaruh antara "geng Solo" yang masih menyisakan jejak kuat dan barisan loyalis Prabowo yang ingin menegaskan dominasinya. Artikel ini akan mengurai dinamika tersebut dalam enam bagian: motif reshuffle, peta persaingan elite, dampaknya pada pos strategis seperti Menko Polkam dan Menteri Keuangan, pembentukan Kementerian Haji dan Umrah, kritik publik terhadap reshuffle yang dianggap kosmetik, hingga implikasi jangka panjang bagi legitimasi pemerintahan Prabowo--Gibran.
1. Motif Reshuffle: Merespons Rakyat atau Menenangkan Elite?
Pergantian di pos Menko Polkam, dari Budi Gunawan yang dikenal dekat dengan lingkaran Jokowi menggambarkan pola konsolidasi kekuasaan baru meskipun jabatan ini dirangkap sementara oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Samsuddin, hingga Presiden Prabowo menunjuk pejabat yang definitif.Â
Begitu pula di Kementerian Keuangan, di mana Sri Mulyani digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa, seorang teknokrat yang selama ini lebih banyak berperan di balik desain kebijakan ekonomi mantan Presiden Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono. Pergantian menteri di dua pos kementerian ini paling banyak disorot karena selain aspek teknis, sosok menterinya juga sangat memengaruhi stabilitas politik dan arah ekonomi nasional ke depan.
Untuk memahami konteks reshuffle ini, kita perlu mengingat kembali demonstrasi besar-besaran dari tanggal 25-31 Agustus sebagai protes terhadap kebijakan pemerintah yang terus merugikan rakyat; menuntut transparansi fiskal, tunjangan pejabat, harga kebutuhan pokok, hingga buruknya public speaking pejabat. Merespons protes ini, Presiden Prabowo langsung bertemu dengan para pejabatnya, pimpinan parpol, hingga tokoh agama. Peristiwa-peristiwa tersebut menyiratkan bahwa reshuffle adalah respons cepat terhadap krisis legitimasi. Pertanyaannya: apakah cepat berarti tepat?
2. Geng Solo vs Loyalis Prabowo: Siapa Menguasai Istana?