Jika lidah bisa melukai, apakah ia juga bisa memimpin? Inilah pahitnya lidah pejabat yang bisa menjatuhkannya lebih cepat daripada kebijakan yang gagal. Ketika pejabat gagal merawat kata yang keluar dari lidahnya, maka bisa dipastikan bahwa kualitas public speaking pejabat tersebut jelas-jelas buruk.
Dalam komunikasi politik, kata bukan sekadar kalimat, melainkan instrumen kekuasaan. Negara bisa terjebak dalam krisis karena krisis tutur kata para pejabatnya. Lalu, bagaimana jika seorang pemimpin gagal merawat kata?
Inilah saatnya kita bicara tentang diplomasi lidah dan retorika sebagai seni kepemimpinan. Memahami diplomasi lidah berarti memahami retorika sebagai inti kepemimpinan, bukan sekadar hiasan.
Diplomasi lidah bukan sekadar kemampuan berbicara, melainkan keterampilan menggunakan kata-kata sebagai alat membangun jembatan, meredakan konflik, dan menciptakan kesepahaman. Seperti halnya diplomasi antarnegara yang mengandalkan negosiasi, diplomasi lidah bekerja di ranah komunikasi sehari-hari—baik oleh pejabat publik, pemimpin organisasi, maupun individu. Intinya adalah bagaimana lidah (ucapan) bisa menjadi alat persuasif untuk meraih kepercayaan, simpati, dan dukungan.
Dalam politik praktis, diplomasi lidah bisa berupa pidato yang menyejukkan hati rakyat. Dalam kehidupan sosial, ia tampak ketika seseorang mampu menyatukan kelompok yang berbeda pendapat tanpa menyinggung salah satu pihak. Dalam kepemimpinan, diplomasi lidah berarti memilih kata yang tepat pada waktu yang tepat, untuk tujuan yang lebih besar daripada sekadar menyenangkan telinga.
Sementara itu, retorika adalah seni berbicara yang terarah, sistematis, dan penuh perhitungan. Retorika bukan hanya bagaimana seseorang berbicara dengan indah, tetapi bagaimana isi, emosi, dan logika diolah menjadi pesan yang mampu menggerakkan orang lain. Karena itu, sangat wajar jika retorika ditempatkan sebagai salah satu instrumen utama seorang pemimpin. Pemimpin dengan retorika kuat bisa menyatukan visi bersama, bahkan di tengah situasi yang memecah belah.
Jika diplomasi lidah adalah tujuan (mencapai kesepahaman, menjaga harmoni, atau meredakan ketegangan), maka retorika adalah alat untuk mencapainya. Retorika membuat diplomasi lidah tidak jatuh pada basa-basi kosong, melainkan menjadi seni kepemimpinan yang nyata: kata-kata yang melahirkan tindakan, ucapan yang menumbuhkan kepercayaan.
Dengan kata lain, diplomasi lidah mengajarkan “mengapa kita perlu berbicara dengan bijak,” sementara retorika menunjukkan “bagaimana cara melakukannya.”
Membuka Kotak Pandora
Fenomena ini menunjukkan betapa sebuah kalimat bisa menimbulkan luka simbolis. Guru merasa dituntut pada standar moral tidak realistis, sementara problem struktural seperti gaji rendah dan beban administrasi justru terabaikan. Dari sisi komunikasi, pesan yang dimaksudkan mulia berubah menjadi serangan personal. Ini memperlihatkan kelemahan pejabat dalam melakukan audience analysis: mereka gagal membaca sensitivitas audiens.