Delapan dekade telah berlalu sejak bangsa ini memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Bendera Merah Putih berkibar di setiap sudut negeri, lagu kebangsaan bergema di ruang publik, dan parade perayaan menjadi tradisi. Namun, di balik gegap gempita itu, ada pertanyaan getir yang menggantung: apakah kita benar-benar merdeka, terutama dalam berbicara dan mengekspresikan pendapat sebagai hak sipil yang paling mendasar? Kemerdekaan Indonesia sejatinya menjanjikan kebebasan lahir dan batin, tetapi realitas hari ini menunjukkan banyak warga masih hidup dalam bayang-bayang rasa takut untuk mengungkapkan pikiran.
Kebebasan berpendapat merupakan salah satu pilar demokrasi yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E, serta oleh Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia. Namun, hak ini kerap kali dibatasi dengan alasan "menjaga ketertiban umum" atau "melindungi reputasi seseorang", yang dalam praktiknya menjadi pintu masuk represi politik. Fenomena ini menunjukkan perbedaan antara kemerdekaan simbolis yang selalu kita rayakan dan kemerdekaan substansial yang terus dirampas.
Penjajahan modern tidak lagi hadir dengan bedil dan tentara penjajah, melainkan dengan pasal-pasal karet, persekusi digital, dan proses hukum yang digunakan untuk membungkam kritik. Warga tidak lagi dipenjara karena mengibarkan bendera penjajah, tetapi karena mengucapkan pendapat yang dianggap mengganggu kenyamanan penguasa. Batas antara kritik sah dan tuduhan fitnah menjadi kabur, dan kaburnya batas ini seringkali dimanfaatkan untuk melindungi kepentingan segelintir elit.
Di tengah kondisi ini, kasus kriminalisasi Abraham Samad mencuat sebagai cermin yang memperlihatkan rapuhnya demokrasi kita. Samad, mantan Ketua KPK yang pernah memimpin perang besar melawan korupsi, kini harus menghadapi jerat hukum karena membicarakan isu publik di sebuah podcast. Peristiwa ini menegaskan, seorang tokoh berintegritas tinggi sekaliber Samad pun tidak kebal dari pembungkaman.
Ironi besar muncul ketika kita menyadari bahwa di saat rakyat merayakan kemerdekaan ke-80 nanti, mereka masih harus menimbang kata sebelum berbicara, takut kalau-kalau pendapat yang diutarakan menjadi tiket masuk ruang interogasi. Di sinilah letak persoalan mendasar: kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa sedang direduksi menjadi sekadar seremoni tahunan, sementara substansinya terkikis pelan-pelan.
Kronologi Kasus Abraham Samad
Abraham Samad bukan nama asing di dunia hukum dan pemberantasan korupsi Indonesia. Sebagai Ketua KPK (2011--2015), ia memimpin lembaga itu dengan sikap keras terhadap pelaku korupsi, tak peduli pangkat dan jabatan. Jejaknya membongkar kasus besar membuatnya disegani sekaligus dibenci. Setelah tak lagi di KPK, Samad tetap aktif berbicara soal integritas publik dan akuntabilitas kekuasaan. Salah satu kiprah publiknya adalah melalui podcast atau siniar "Abraham Samad Speak Up" yang mendiskusikan kontroversi politik nasional. Namun, pada 2025, suaranya melalui program podcastnya ini kembali menjadi ancaman. Ancaman kali ini bukan bagi koruptor, tetapi bagi kenyamanan segelintir elit politik.
Dalam sebuah diskusi yang tayang di "Abraham Samad Speak Up", Samad membicarakan isu dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi. Ia tidak mengklaim sebagai pemegang bukti autentik, tetapi mengangkatnya sebagai isu yang telah ramai diperbincangkan publik, lengkap dengan ajakan agar pemerintah membuka data untuk mengakhiri spekulasi.
Bagi Samad, wawancara siniar tersebut adalah bagian dari hak rakyat untuk tahu, mengingat presiden adalah pejabat publik tertinggi. Abraham berupaya untuk mendorong agar pejabat publik harus bertanggung jawab atas keaslian syarat administrasi ketika mendaftarkan diri untuk menjadi pejabat publik. Mereka harus menunjukkan keaslian dokumen yang digunakan ketika publik membutuhkannya.
Meski demikian, Abraham Samad terpaksa harus berurusan dengan Polda Metro Jaya terkait dengan siniar yang ditayangkan dalam edisi wawancaranya terhadap Roy Suryo, Rizmon, dr Tifa, Kurnia, dan Rizal Fadila tentang ijazah Palsu Joko Widodo. Isi wawancara tersebut dianggap mengandung fitnah terhadap Presiden RI ketujuh Joko Widodo. Kehadiran Samad ke Polda ini sendiri berkaitan dengan laporan Jokowi atas dugaan fitnah terkait tuduhan ijazah palsu ke Polda Metro Jaya. Laporan tersebut sendiri didasarkan pada Pasal 310 dan 311 KUHP dan Pasal 27A, 32, serta 35 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.