Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Merdeka Tapi Masih Dijajah Sampah

12 Agustus 2025   18:39 Diperbarui: 12 Agustus 2025   18:39 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi TPA Cipayung  yang selalu menghantui warga Kota Depok dengan aroma sampah yang tidak sedap (Sumber: Antara via Mediaindonesia.com)

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 2022 tercatat lebih dari 4.000 ton sampah plastik bekas dari luar negeri masuk ke Indonesia. Dalihnya adalah "bahan baku daur ulang", tetapi kenyataannya, banyak yang tidak layak olah dan berakhir mencemari desa-desa. Pola ini mencerminkan bentuk baru penjajahan: negara-negara maju mengekspor masalah lingkungan mereka kepada negara berkembang seperti Indonesia.

Jika pada era kolonial VOC menguras kekayaan bumi kita demi keuntungan mereka, maka kini mereka menguras ruang ekologis kita untuk menyelamatkan lingkungan mereka sendiri. Sementara itu, kebijakan nasional kita justru membuka celah impor limbah dengan alasan ekonomi. Ironisnya, di banyak desa pesisir, nelayan yang dulu mencari ikan kini menghabiskan waktu memungut plastik dari jaring mereka.

Inilah bentuk kolonialisme yang tak memerlukan pasukan, tak ada perang terbuka, tapi dampaknya sama mematikan. Ruang hidup kita menyempit, kualitas udara dan air memburuk, dan kesehatan generasi mendatang terancam. Sama seperti di masa lalu, mereka mengeruk keuntungan, kita menanggung kerusakan.

Maka, berbicara tentang kemerdekaan tanpa membahas kedaulatan ekologis hanyalah retorika kosong. Bendera yang berkibar di tiang setinggi apa pun tidak akan menutupi bau busuk TPA dan laut yang penuh plastik.

Budaya Konsumsi Instan: Menjadi Penjajah Bagi Diri Sendiri

Meski kolonialisme ekologis banyak dipicu oleh arus global, kita juga tak bisa menutup mata pada fakta bahwa sebagian besar krisis ini adalah ulah kita sendiri. Budaya konsumsi instan--dari mie kemasan, minuman sachet, hingga belanja online dengan lapisan plastik berlapis-lapis--telah menjerumuskan kita menjadi penjajah bagi tanah air kita sendiri.

Data KLHK 2023 menunjukkan, 17 persen dari total sampah di Indonesia adalah plastik sekali pakai. Dan ironinya, sebagian besar berasal dari produk yang kita konsumsi setiap hari. Kita mengeluh soal banjir, tapi terus membuang kemasan minuman ke selokan. Kita marah saat laut tercemar, tapi tetap membeli produk yang dibungkus plastik tanpa pikir panjang.

Generasi yang lahir di era kemerdekaan politik kini tumbuh dengan mental "kemerdekaan palsu"---merasa bebas memilih produk apa pun tanpa memikirkan konsekuensi ekologis. Padahal, kebebasan yang merusak rumah sendiri bukanlah kemerdekaan, melainkan bunuh diri perlahan. Kebiasaan ini diperparah oleh minimnya edukasi dan fasilitas pengelolaan sampah. Banyak daerah tidak memiliki sistem pemilahan, dan produsen jarang diminta bertanggung jawab atas kemasan yang mereka hasilkan. Alhasil, tanggung jawab dibebankan sepenuhnya pada konsumen, yang sering kali tidak memiliki pilihan selain membuangnya.

Dengan kata lain, kita sedang mengulang kesalahan sejarah: membiarkan penjajahan terjadi, hanya saja kali ini kebiasaan dan perilaku kita sendiri dalam membuang sampah yang menjadi penjajahnya.

Perlawanan  Akar Rumput dan Kebijakan Setengah Hati

Kelompok Sungai Watch sebagai representasi perlawanan akar rumput dalam mengatasi masalah sampah di sungai (Sumber: Kompas.com)
Kelompok Sungai Watch sebagai representasi perlawanan akar rumput dalam mengatasi masalah sampah di sungai (Sumber: Kompas.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun