Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Dari Medan Tempur ke Medan Digital: Evolusi Nasionalisme Anak Muda Indonesia

7 Agustus 2025   15:04 Diperbarui: 7 Agustus 2025   15:04 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ekspresi nasionalisme generasi muda Indonesia (Sumber: Community.mekari.com)

Jika dahulu nasionalisme dibuktikan dengan perlawanan bersenjata, hari ini ia menjelma dalam bentuk yang jauh lebih senyap. Generasi muda Indonesia sekarang tidak lagi memproklamasikan cinta tanah air dengan cara yang sama seperti para pejuang kemerdekaan. Mereka tidak turun ke medan perang, tetapi masuk ke medan digital yang tak kalah ganas. Di sinilah nasionalisme mengalami transformasi besar, menyesuaikan diri dengan realitas zaman yang bergerak cepat dan penuh distraksi.

Sejarah telah mencatat peran vital anak muda dalam tonggak-tonggak besar perubahan bangsa: Sumpah Pemuda 1928, gerakan mahasiswa 1966, hingga Reformasi 1998. Kini, dua dekade setelah reformasi, muncul pertanyaan baru: bagaimana bentuk keterlibatan anak muda dalam kehidupan kebangsaan? Apakah mereka masih memedulikan Indonesia di tengah gemuruh globalisasi dan digitalisasi? Anak-anak muda sekarang masih peduli dengan persoalan kebangsaan, tetapi tanda-tandanya tidak selalu terlihat di ruang formal kenegaraan. Aksi mereka tampak jelas dalam kreativitas dan keberpihakan mereka terhadap isu-isu sosial yang relevan.

Baca juga:

Proklamasi 4.0: Merdeka Digital bagi "Digital Native"-Gen Z

Ada semacam kelelahan kolektif terhadap wacana nasionalisme yang usang---yang dipaksa hadir hanya dalam bentuk upacara, nyanyian, atau slogan-slogan belaka. Di sisi lain, anak muda mengembangkan makna baru nasionalisme yang tidak bersifat seragam, tetapi personal dan kontekstual. Cinta tanah air bagi mereka bukan sekadar soal bendera, tapi tentang akses pendidikan yang setara, kelestarian lingkungan, kebebasan berekspresi, dan keadilan sosial. Nasionalisme menjadi reflektif, bukan doktriner.

Transformasi ini patut dicermati bukan sebagai kemunduran, melainkan sebagai adaptasi. Nasionalisme yang bertahan hidup bukan yang memaksakan diri dalam bentuk lama, tapi yang sanggup berubah rupa mengikuti zaman. Oleh karena itu, tugas kita bukan menuduh anak muda apatis, melainkan memahami bagaimana mereka sedang berjuang dengan cara mereka sendiri--kadang hening, kadang riuh di linimasa.

Dan dari sinilah, kita melihat jalan baru perjuangan itu ditempuh melalui layar, kamera, dan koneksi internet. Dari panggung-panggung jalanan menuju platform digital, dari pekikan "reformasi!" menuju video berdurasi singkat yang viral, nasionalisme generasi muda mungkin tampak berbeda, namun semangat dasarnya tetap sama: keberanian untuk peduli.

Aktivisme Digital: Nasionalisme dalam Genggaman

Ilustrasi aktivitas digital generasi muda (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi aktivitas digital generasi muda (Sumber: Kompas.com)

Di era media sosial, keberpihakan anak muda terhadap isu-isu kebangsaan menemukan rumah barunya: dunia digital. Aplikasi seperti TikTok, Instagram, dan Twitter/X bukan hanya tempat mencari hiburan, tetapi juga ruang perlawanan dan solidaritas. Tagar-tagar seperti #ReformasiDikorupsi, #SaveMeratus, dan #PapuanLivesMatter menjadi saksi bagaimana narasi perjuangan tidak pernah benar-benar mati--hanya berpindah medium.

Gerakan digital ini mencerminkan cara baru menyuarakan nasionalisme. Tidak sedikit kreator konten yang menyelipkan pesan kebangsaan dalam bentuk yang ringan dan relatable. Mereka mengemas isu-isu serius seperti korupsi, ketimpangan sosial, atau kekerasan negara dalam video singkat yang emosional dan edukatif. Bagi banyak anak muda, satu klik "like", "share", atau "repost" adalah bentuk dukungan yang tidak bisa dianggap remeh. Digitalisasi telah memudahkan siapa pun untuk menjadi bagian dari gerakan sosial tanpa harus selalu berada di lapangan.

Namun, tidak semua bentuk aktivisme digital berarti substansial. Istilah "slacktivism" mengingatkan kita pada sisi pasif dari partisipasi online, di mana solidaritas berhenti pada simbol dan tidak berlanjut pada tindakan nyata. Ada risiko bahwa aktivisme hanya menjadi tren sesaat, viral tapi hampa. Di sinilah pentingnya literasi digital dan politik agar generasi muda bisa memilah antara aktivisme sejati dan gerakan palsu yang hanya mengejar impresi.

Di sisi lain, ruang digital juga mempermudah konektivitas antarwilayah dan antarkomunitas. Anak muda dari berbagai penjuru Indonesia dapat bertukar gagasan, saling mendukung gerakan lokal, dan menciptakan jaringan solidaritas yang luas. Bahkan gerakan lokal yang kecil bisa mendapat perhatian nasional atau global karena kekuatan media sosial. Nasionalisme pun menjadi semakin horizontal: bukan hanya milik elite atau pusat, tetapi milik semua yang terhubung.

Aktivisme digital adalah bukti bahwa nasionalisme bisa hadir di ruang yang tampak asing: dunia maya. Tapi dunia maya bukan dunia semu. Di dalamnya, suara-suara yang tak pernah terdengar kini mendapat panggung, dan perjuangan lama menemukan bahasa barunya.

Karya sebagai Perjuangan: Nasionalisme melalui Kreativitas

Ilustrasi generasi muda kreatif dengan karya digital (Sumber: Indonesia baik.co)
Ilustrasi generasi muda kreatif dengan karya digital (Sumber: Indonesia baik.co)

Bentuk paling halus namun mendalam dari nasionalisme generasi muda saat ini hadir lewat karya. Musik, film, ilustrasi, puisi, desain grafis, bahkan meme, menjadi cara mereka merespons kenyataan sosial dan merumuskan identitas kebangsaan yang mereka yakini. Karya bukan lagi pelengkap, melainkan pernyataan sikap. Mereka memilih mencintai Indonesia dengan menciptakan.

Musik indie dan alternatif seringkali menjadi wadah ekspresi paling politis dalam bentuk yang tetap estetik. Lagu-lagu dari Efek Rumah Kaca, Barasuara, hingga Hindia bukan hanya enak didengar, tetapi juga menyimpan kritik sosial dan refleksi kebangsaan. Lirik-lirik mereka berbicara tentang kesenjangan, kehilangan arah, atau harapan akan perubahan. Musik menjadi ruang renungan kolektif bagi anak muda yang merasa tidak diwakili oleh politik formal.

Di sisi visual, banyak ilustrator, komikus, dan filmmaker muda menggunakan karyanya untuk menyuarakan isu-isu perempuan, minoritas, lingkungan, dan sejarah alternatif. Kanal YouTube yang mengangkat sejarah lokal atau dokumenter tentang perjuangan masyarakat adat kini memiliki jutaan penonton. Estetika tidak menghilangkan pesan; justru memperkuatnya. Nasionalisme menjadi pengalaman yang indrawi dan emosional, bukan sekadar konsep abstrak.

Fenomena brand lokal dan fashion bertema budaya juga menambah lapisan baru pada cara generasi muda memaknai nasionalisme. Kaos dengan kutipan dari tokoh bangsa, motif batik yang dimodifikasi, hingga kampanye produk yang menyoroti isu sosial---semuanya merupakan bentuk ekspresi cinta tanah air dalam bahasa generasi hari ini. Konsumsi menjadi politis, dan gaya menjadi pernyataan.

Melalui karya, anak muda membuktikan bahwa nasionalisme tak harus membakar bendera musuh atau berseru di podium. Cukup dengan mencipta sesuatu yang berakar pada keprihatinan dan harapan terhadap tanah air, mereka telah berkontribusi membentuk wajah Indonesia yang baru.

Solidaritas Komunitas: Nasionalisme yang Berakar di Aksi Nyata

Ilustrasi kekompakan generasi muda (Sumber: rri.co.id)
Ilustrasi kekompakan generasi muda (Sumber: rri.co.id)

Selain berekspresi di ruang digital, banyak anak muda menunjukkan semangat kebangsaan melalui kerja komunitas. Mereka tidak menunggu pemerintah bergerak, melainkan memilih langsung terlibat dalam perubahan sosial--mengajar di desa, mengelola bank sampah, memfasilitasi ruang diskusi, atau membangun koperasi anak muda. Di sinilah nasionalisme hadir secara konkret: dalam kerja-kerja kecil yang berdampak besar.

Contoh inspiratif datang dari komunitas pengajar muda, pegiat literasi di pedalaman, atau relawan bencana yang bergerak secara swadaya. Mereka tidak tampil di televisi, tapi hadir langsung di tengah masyarakat yang membutuhkan. Anak-anak muda ini tidak mempersoalkan asal usul, agama, atau ideologi. Bagi mereka, Indonesia bukan tentang simbol, tapi tentang manusia dan hidup bersama.

Solidaritas juga hadir dalam bentuk yang lebih cair dan spontan. Saat terjadi bencana, konflik, atau tragedi kemanusiaan, generasi muda cepat merespons melalui donasi daring, kampanye sosial, hingga relawan dadakan. Media sosial menjadi alat koordinasi dan penyebaran informasi yang efektif. Di sinilah semangat gotong royong lama bertemu dengan teknologi baru.

Kekuatan komunitas juga menunjukkan bahwa nasionalisme tidak melulu soal negara. Justru saat negara abai, komunitas hadir sebagai wujud nyata cinta pada bangsa. Anak muda mengisi kekosongan kebijakan dengan inisiatif. Mereka tidak membenci negara, tapi menyadarkan negara akan fungsinya.

Lewat kerja komunitas, nasionalisme menjadi aksi, bukan jargon. Ia tak selalu bendera yang dikibarkan tinggi, tapi bisa jadi sebatang kapur tulis yang dipegang seorang relawan muda di sekolah darurat.

Tantangan dan Distorsi: Saat Nasionalisme Disusupi Kepentingan

Meski tampak dinamis dan berdaya, nasionalisme anak muda juga menghadapi berbagai distorsi. Tidak sedikit narasi nasionalisme digunakan untuk kepentingan politik praktis, propaganda, atau bahkan untuk menekan kelompok tertentu. Istilah seperti "anti-nasional", "radikal", atau "bukan orang Indonesia asli" sering kali digunakan untuk membungkam suara kritis. Ini bentuk lain dari represi dengan bungkus kebangsaan.

Fenomena buzzer politik yang menyerang oposisi atau pembela HAM dengan dalih nasionalisme menjadi ancaman serius bagi ruang publik yang sehat. Ketika nasionalisme direduksi menjadi loyalitas buta terhadap kekuasaan, maka nasionalisme itu telah kehilangan jiwanya. Generasi muda perlu waspada terhadap manipulasi semacam ini.

Di sisi lain, ada kecenderungan sebagian generasi muda memahami nasionalisme secara sempit--hanya soal budaya populer dan simbol visual. Nasionalisme ditandai dengan mengenakan batik, menyanyikan lagu perjuangan, atau mengunggah foto bendera saat 17 Agustus. Padahal di luar momen-momen itu, mereka mungkin tidak peduli pada masalah bangsa yang sebenarnya.

Minimnya literasi sejarah dan pendidikan kewargaan yang partisipatif juga memperparah situasi. Banyak anak muda tidak pernah diajak berdialog kritis tentang apa arti menjadi warga negara. Mereka dijejali hafalan, bukan pemahaman. Akibatnya, nasionalisme jadi seremonial, bukan kesadaran.

Menghadapi semua ini, tantangan kita adalah merawat nasionalisme yang kritis, inklusif, dan berbasis nilai. Nasionalisme yang bisa membedakan antara cinta tanah air dan kultus individu, antara loyalitas negara dan pembelaan terhadap rakyat.

Nasionalisme yang Terus Bertumbuh

Ilustrasi maskot nasionalisme (Sumber: Depositphotos)
Ilustrasi maskot nasionalisme (Sumber: Depositphotos)

Nasionalisme bukanlah benda mati yang tinggal diwarisi. Ia adalah semangat yang harus terus ditafsir ulang sesuai zaman. Generasi muda Indonesia telah membuktikan bahwa cinta tanah air tidak harus seragam, tidak harus dengan cara lama. Mereka mencintai Indonesia dengan cara yang mungkin tidak kita pahami sepenuhnya, tapi tetap sahih dan tulus.

Kita tak bisa memaksakan nasionalisme versi masa lalu pada generasi yang hidup di masa kini. Yang bisa kita lakukan adalah membuka ruang, mendengarkan, dan mendampingi mereka membangun nasionalisme yang sesuai dengan dunia yang mereka hidupi. Dunia yang cepat, cair, dan penuh tantangan baru.

Dan dari proses itu, kita akan melihat bahwa nasionalisme Indonesia tidak pernah mati. Ia hanya berpindah bentuk--dari jalanan ke aplikasi digital, dari buku sejarah ke video kreatif, dari upacara ke karya. Selama masih ada yang peduli, maka Indonesia akan selalu punya masa depan.

Depok, 7/8/2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun