Solidaritas Komunitas: Nasionalisme yang Berakar di Aksi Nyata
Selain berekspresi di ruang digital, banyak anak muda menunjukkan semangat kebangsaan melalui kerja komunitas. Mereka tidak menunggu pemerintah bergerak, melainkan memilih langsung terlibat dalam perubahan sosial--mengajar di desa, mengelola bank sampah, memfasilitasi ruang diskusi, atau membangun koperasi anak muda. Di sinilah nasionalisme hadir secara konkret: dalam kerja-kerja kecil yang berdampak besar.
Contoh inspiratif datang dari komunitas pengajar muda, pegiat literasi di pedalaman, atau relawan bencana yang bergerak secara swadaya. Mereka tidak tampil di televisi, tapi hadir langsung di tengah masyarakat yang membutuhkan. Anak-anak muda ini tidak mempersoalkan asal usul, agama, atau ideologi. Bagi mereka, Indonesia bukan tentang simbol, tapi tentang manusia dan hidup bersama.
Solidaritas juga hadir dalam bentuk yang lebih cair dan spontan. Saat terjadi bencana, konflik, atau tragedi kemanusiaan, generasi muda cepat merespons melalui donasi daring, kampanye sosial, hingga relawan dadakan. Media sosial menjadi alat koordinasi dan penyebaran informasi yang efektif. Di sinilah semangat gotong royong lama bertemu dengan teknologi baru.
Kekuatan komunitas juga menunjukkan bahwa nasionalisme tidak melulu soal negara. Justru saat negara abai, komunitas hadir sebagai wujud nyata cinta pada bangsa. Anak muda mengisi kekosongan kebijakan dengan inisiatif. Mereka tidak membenci negara, tapi menyadarkan negara akan fungsinya.
Lewat kerja komunitas, nasionalisme menjadi aksi, bukan jargon. Ia tak selalu bendera yang dikibarkan tinggi, tapi bisa jadi sebatang kapur tulis yang dipegang seorang relawan muda di sekolah darurat.
Tantangan dan Distorsi: Saat Nasionalisme Disusupi Kepentingan
Meski tampak dinamis dan berdaya, nasionalisme anak muda juga menghadapi berbagai distorsi. Tidak sedikit narasi nasionalisme digunakan untuk kepentingan politik praktis, propaganda, atau bahkan untuk menekan kelompok tertentu. Istilah seperti "anti-nasional", "radikal", atau "bukan orang Indonesia asli" sering kali digunakan untuk membungkam suara kritis. Ini bentuk lain dari represi dengan bungkus kebangsaan.
Fenomena buzzer politik yang menyerang oposisi atau pembela HAM dengan dalih nasionalisme menjadi ancaman serius bagi ruang publik yang sehat. Ketika nasionalisme direduksi menjadi loyalitas buta terhadap kekuasaan, maka nasionalisme itu telah kehilangan jiwanya. Generasi muda perlu waspada terhadap manipulasi semacam ini.
Di sisi lain, ada kecenderungan sebagian generasi muda memahami nasionalisme secara sempit--hanya soal budaya populer dan simbol visual. Nasionalisme ditandai dengan mengenakan batik, menyanyikan lagu perjuangan, atau mengunggah foto bendera saat 17 Agustus. Padahal di luar momen-momen itu, mereka mungkin tidak peduli pada masalah bangsa yang sebenarnya.