Minimnya literasi sejarah dan pendidikan kewargaan yang partisipatif juga memperparah situasi. Banyak anak muda tidak pernah diajak berdialog kritis tentang apa arti menjadi warga negara. Mereka dijejali hafalan, bukan pemahaman. Akibatnya, nasionalisme jadi seremonial, bukan kesadaran.
Menghadapi semua ini, tantangan kita adalah merawat nasionalisme yang kritis, inklusif, dan berbasis nilai. Nasionalisme yang bisa membedakan antara cinta tanah air dan kultus individu, antara loyalitas negara dan pembelaan terhadap rakyat.
Nasionalisme yang Terus Bertumbuh
Nasionalisme bukanlah benda mati yang tinggal diwarisi. Ia adalah semangat yang harus terus ditafsir ulang sesuai zaman. Generasi muda Indonesia telah membuktikan bahwa cinta tanah air tidak harus seragam, tidak harus dengan cara lama. Mereka mencintai Indonesia dengan cara yang mungkin tidak kita pahami sepenuhnya, tapi tetap sahih dan tulus.
Kita tak bisa memaksakan nasionalisme versi masa lalu pada generasi yang hidup di masa kini. Yang bisa kita lakukan adalah membuka ruang, mendengarkan, dan mendampingi mereka membangun nasionalisme yang sesuai dengan dunia yang mereka hidupi. Dunia yang cepat, cair, dan penuh tantangan baru.
Dan dari proses itu, kita akan melihat bahwa nasionalisme Indonesia tidak pernah mati. Ia hanya berpindah bentuk--dari jalanan ke aplikasi digital, dari buku sejarah ke video kreatif, dari upacara ke karya. Selama masih ada yang peduli, maka Indonesia akan selalu punya masa depan.
Depok, 7/8/2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI