Gagasan "Merdeka Belajar" yang dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menawarkan harapan akan sistem pendidikan yang lebih fleksibel, kontekstual, dan berpusat pada peserta didik. Konsep ini digadang-gadang sebagai napas baru bagi pendidikan Indonesia yang selama ini terlalu kaku, sentralistik, dan menindas kreativitas. Namun, pertanyaannya: apakah semangat ini benar-benar baru, atau hanya rebranding dari cita-cita lama yang belum juga tercapai? Banyak pihak menyambut baik narasi "kemerdekaan" dalam belajar, tetapi belum semua memahami bagaimana implementasinya secara nyata di lapangan.
Di balik jargon tersebut, semangat "Merdeka Belajar" sebenarnya bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Ki Hadjar Dewantara sejak awal abad ke-20 telah menggagas pendidikan yang membebaskan: pendidikan yang berpihak pada anak, memerdekakan pikiran, dan menghormati kodrat alam serta zaman. Artinya, akar gagasan ini telah tertanam lama dalam tanah sejarah bangsa, namun belum tumbuh subur karena berbagai tantangan struktural. Kini, ketika pemerintah mengusung kembali narasi kemerdekaan dalam pendidikan, kita mesti mencermati apakah yang berubah hanya kulitnya, atau betul-betul cara pandang dan sistemnya.
Pada tataran wacana, kebijakan ini memang membawa angin segar. Guru diberi ruang untuk lebih otonom, kurikulum dibuat lebih adaptif melalui Kurikulum Merdeka, dan siswa diberi kesempatan mengembangkan potensi dengan pendekatan pembelajaran berdiferensiasi. Namun, transformasi ini kerap terbentur kenyataan di lapangan, yakni: minimnya pelatihan guru, kesenjangan infrastruktur digital, hingga resistensi dari pihak sekolah yang terbiasa dengan sistem lama. Apakah benar kita sedang "merdeka" atau hanya dipaksa menyusun ulang metode tanpa dukungan nyata?
Baca juga:
Menakar Keadilan Sosial setelah 80 Tahun Indonesia Merdeka
Sementara itu, sebagian pihak menilai bahwa "Merdeka Belajar" lebih sebagai strategi retorika dalam membungkus kebijakan pendidikan yang belum selesai berbenah. Dengan mengemas program dalam narasi kemerdekaan, publik mudah tertarik, meskipun substansinya masih membutuhkan banyak perbaikan. Hal ini mencerminkan pentingnya literasi kebijakan bagi masyarakat luas agar mampu mengkritisi bukan hanya isi program, tetapi juga narasi besar yang membungkusnya. Pendidikan yang membebaskan tidak lahir dari slogan, tetapi dari sistem yang sungguh berpihak pada peserta didik dan pendidik.
Maka, kita perlu menimbang dengan cermat: apakah Merdeka Belajar sungguh menjadi semangat baru dalam pendidikan Indonesia, atau sekadar kemasan indah dari cita-cita lama yang belum selesai?Â
Sekolah dan Kurikulum: Antara Adaptasi dan Kebingungan
Perubahan besar dalam dunia pendidikan dimulai dari jantung sistemnya: kurikulum. Kurikulum Merdeka digadang sebagai perwujudan konkret dari filosofi Merdeka Belajar. Ia menekankan pada pembelajaran berbasis proyek, kompetensi, dan konteks lokal. Namun, kenyataannya tak semua sekolah siap melakukan lompatan paradigma ini. Banyak guru merasa belum cukup terlatih, sekolah kekurangan fasilitas, dan daerah terpencil menghadapi kendala digitalisasi yang serius. Kurikulum yang seharusnya membebaskan justru bisa menjadi beban baru jika tidak diiringi kesiapan menyeluruh.
Baca juga: