Kabar Paus Fransiskus meninggal dunia sangat mengguncang, menandai berakhirnya kepemimpinan seorang gembala yang dikenal karena ketulusannya memperjuangkan kasih, keadilan, dan keberpihakan pada kaum terpinggirkan---termasuk perempuan. Sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik, kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi Gereja universal yang selama ini ia tuntun dengan semangat belarasa dan reformasi.
Menariknya, kepergiannya terjadi berdekatan dengan Hari Kartini, sebuah momen reflektif di Indonesia yang memperingati perjuangan perempuan melawan ketidakadilan sosial dan kultural. Persinggungan waktu ini menguatkan pesan bahwa emansipasi perempuan bukan hanya agenda sosial, tetapi juga bagian dari kasih dalam terang iman---sebuah nilai yang dijunjung tinggi oleh Kartini dan dijalankan secara nyata oleh Paus Fransiskus dalam pelayanan pastoralnya.
Duka di Tengah Cahaya
Tanggal 21 April di Indonesia identik dengan peringatan Hari Kartini---sebuah momen reflektif atas perjuangan perempuan Jawa yang melampaui batas zamannya. Namun, bayangkan bila di tahun yang sama dunia juga dirundung duka atas wafatnya Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik yang selama hidupnya dikenal sebagai juru bicara cinta kasih dan keadilan bagi kaum tertindas. Keduanya, dalam garis hidup yang terpisah ruang dan waktu, ternyata menggemakan satu suara: bahwa perempuan layak dihormati, dididik, dan diperlakukan setara. Artikel ini mencoba menelusuri cahaya yang ditinggalkan dua tokoh ini dalam semangat pembebasan perempuan.
Kartini, lahir di Jepara pada 1879, tumbuh dalam sistem feodal dan kolonial yang mengekang hak-hak perempuan untuk belajar, berbicara, dan berkarya. Di tengah batas-batas tersebut, Kartini menjadikan pena sebagai senjata, dan surat sebagai medan perjuangan.Â
Sementara itu, Paus Fransiskus---yang terlahir sebagai Jorge Mario Bergoglio di Argentina---membawa angin baru bagi Vatikan. Sebagai Paus pertama dari Amerika Latin, ia menolak kemewahan, memeluk pinggiran, dan membuka Gereja bagi mereka yang lama dibungkam---termasuk perempuan. Keduanya berakar pada keberanian spiritual untuk melampaui norma yang tak adil.
Kematian seorang Paus, terutama sosok progresif seperti Fransiskus, bukan sekadar peristiwa institusional. Ia adalah kehilangan simbol harapan, seorang gembala yang tak segan turun ke lorong-lorong kemiskinan dan berbicara dengan bahasa yang dimengerti mereka yang tertindas. Bila kematiannya berdekatan dengan Hari Kartini, maka pertemuan itu menjadi semacam liturgi sejarah---panggilan untuk mengenang dua tokoh yang berani mengubah sistem dari dalam. Paus Fransiskus dan Kartini tidak memekikkan revolusi, namun langkah-langkah mereka adalah perubahan itu sendiri.
Baik Kartini yang hidup dalam pingitan, maupun Paus Fransiskus yang hidup di dalam Vatikan, Â keduanya menjadikan cinta sebagai dasar keberanian. Kasih dalam versi mereka bukanlah kelembutan pasif, melainkan kekuatan yang menolak diam terhadap ketidakadilan.