Baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita korupsi di beberapa anak perusahaan PT Pertamina, yakni: PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina Internasional, dan PT Pertamina Internasional Shipping, yang konon berpotensi merugikan negara nyaris Rp1000 triliun. Sebelum berita ini santer, beberapa pekan sebelumnya terungkap pemasangan pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang yang panjangnya mencapai 30 kilometer. Beberapa bulan sebelumnya terungkap juga korupsi PT Timah Indonesia yang merugikan negara sebesar Rp300 triliun.
Contoh-contoh kasus tersebut mencerminkan suatu kondisi yang telah lama menyelimuti sistem politik banyak negara, termasuk Indonesia. Sebuah kondisi di mana kekuasaan dan banditisme politik berkolaborasi dalam sebuah simbiosis yang merugikan rakyat dan negara secara keseluruhan.
Praktik ini tidak hanya melibatkan individu atau kelompok tertentu, melainkan sudah menjadi bagian dari sistem yang lebih besar dan terorganisir. Sistem ini tercipta oleh ketergantungan antara struktur kekuasaan negara dengan individu atau kelompok yang mengedepankan kepentingan pribadi mereka, tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keadilan, moralitas, dan kesejahteraan publik.
Inilah yang saya sebut dengan persekongkolan sistemik antara kekuasaan dengan bandit politik, di mana terjadi hubungan yang erat antara struktur kekuasaan yang sah dengan praktik-praktik kriminal yang merusak. Kekuasaan yang seharusnya bekerja demi kepentingan publik sering kali dipergunakan untuk menangguk keuntungan pribadi atau kelompok melalui praktik-praktik yang inkonstitusional.
Ketika kekuasaan yang sah, baik itu dalam tatanan eksekutif, legislatif, atau yudikatif, berkolaborasi dengan bandit politik, maka di situlah terjadi sebuah konspirasi yang sistemik di dalam tatanan pemerintahan.
Penggunaan kata bandit untuk menggambarkan aktor-aktor yang terlibat dalam praktik ini bukanlah tanpa alasan. Dalam perspektif filosofi moral, bandit adalah orang yang melanggar aturan untuk keuntungan pribadi. Ia tidak terikat pada prinsip-prinsip moral yang mengedepankan keadilan, tetapi justru bertindak di luar batas norma sosial yang berlaku demi memenuhi nafsu kekuasaan dan kekayaan.
Bandit politik beroperasi dengan menggunakan instrumen-instrumen negara untuk mengeksploitasi sumber daya publik dan mengorbankan rakyat. Ketika mereka berkolaborasi dengan kekuasaan yang sah, persekongkolan ini menjadi semakin sulit dibongkar, karena keduanya saling bergantung satu sama lain untuk mempertahankan status quo.
Dalam konteks ini, istilah bandit politik merujuk pada individu yang melakukan tindak pidana sekaligus mencakup kelompok atau institusi yang mendukung dan melindungi praktik-praktik tersebut. Mereka adalah aktor-aktor yang memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri mereka sendiri atau untuk mempertahankan kontrol atas sumber daya negara dengan cara yang licik dan merugikan rakyat. Hal ini bukanlah hal yang baru dalam sejarah politik dunia, karena sepanjang sejarah, kita dapat melihat banyak contoh bagaimana kekuasaan telah disalahgunakan demi kepentingan pribadi segelintir orang, yang kemudian mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Menurut Michael Foucault, kekuasaan itu bersifat represif sekaligus produktif yang bukan hanya menjadi milik institusi atau individu tertentu, melainkan tersebar di dalam struktur sosial dan sistem-sistem yang ada dalam masyarakat. Kekuasaan tidak hanya mengatur dan menekan, tetapi juga membentuk dan mendefinisikan norma, perilaku, dan kepentingan masyarakat.
Dalam konteks persekongkolan antara kekuasaan dan bandit politik, kekuasaan ini berperan dalam membentuk dan mengukuhkan sistem yang menguntungkan elit politik dan merugikan masyarakat luas. Ini adalah suatu kekuasaan yang beroperasi dalam bayang-bayang, tersembunyi di balik legitimasi yang diberikan oleh institusi negara untuk melanggengkan ketidakadilan.
Persekongkolan ini sendiri beroperasi dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah melalui praktik korupsi yang merajalela, di mana pejabat negara mengalihkan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi mereka.
Korupsi ini tidak hanya melibatkan transaksi ilegal atau suap, tetapi juga mencakup penggunaan kekuasaan untuk mendiskreditkan lawan politik, menyalahgunakan wewenang untuk memperoleh kekayaan, dan memanipulasi kebijakan negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang semestinya digunakan untuk kepentingan rakyat, justru digunakan untuk meraih keuntungan kelompok tertentu melalui banditisme politik.
Sebuah sistem kekuasaan yang dibangun atas dasar ketidakadilan dan manipulasi akan menciptakan budaya ketakutan, kebohongan, dan penindasan. Rezim yang mengandalkan persekongkolan antara elit kekuasaan dan kelompok-kelompok yang mendorong agenda pribadi mereka, bisa membahayakan kepentingan rakyat karena melawan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan kebebasan. Rakyat menjadi korban dari manipulasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkuasa.
Relasi antara kekuasaan dan bandit politik ini sudah merambat ke berbagai sektor, mulai dari politik, ekonomi, hukum, hingga media. Dalam setiap sektor ini, kita akan menemukan bagaimana kekuasaan disalahgunakan dan bagaimana rakyat dipinggirkan dalam proses pengambilan keputusan yang seharusnya demi kepentingan mereka.
Sementara itu, masyarakat sering kali terjebak dalam ketidakberdayaan akibat kontrol yang dilakukan oleh bandit politik yang bersekongkol dengan kekuasaan.
Depok, 2 Maret 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI