Mohon tunggu...
Sultan AkmalHibrizi
Sultan AkmalHibrizi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Seorang Mahasiswa Pendidikan Sosiologi yang suka dengerin musik sambil memejamkan mata sampai ketiduran.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejuta Potensi Kampung Adat Keputihan Cirebon yang Belum Dimanfaatkan

30 Juni 2022   21:02 Diperbarui: 30 Juni 2022   21:21 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampung Adat Keputihan | Sumber: Dokumentasi Pribadi

Kampung Adat Keputihan merupakan satu-satunya Kampung Adat yang masih lestari di wilayah Cirebon, Jawa Barat, tepatnya di Desa Kertasari, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon. Meskipun nama dari Kampung Adat Keputihan telah dikenal umum oleh masyarakat Cirebon, namun keberadaannya tidak dapat dicari melalui aplikasi Google Maps, ditambah lagi tidak adanya penunjuk arah yang mengarahkan pengunjung ke tempat ikonik tersebut, sehingga untuk sampai ke Kampung Adat Keputihan para pengunjung harus bertanya kepada warga setempat. Meskipun demikian, ketika telah mendekati wilayah Kampung Adat Keputihan, pengunjung akan menyadari bahwasannya mereka harus menyusuri jalan yang mana. Hal tersebut disebabkan oleh wilayah Kampung Adat Keputihan yang begitu kontras dengan wilayah yang ada di sekitarnya.

Perbedaan kontras tersebut mulai terlihat dari vegetasi yang sangat berbeda antara Kampung Adat Keputihan dengan wilayah desa sekitarnya. Meskipun masih dalam satu kesatuan Desa Kertasari, wilayah di luar Kampung Adat Keputihan terlihat gersang karena kurangnya tumbuhan. Rumah-rumah di desa Kertasari juga terlihat saling berdempetan antara satu dengan yang lainnya. Berbeda dengan wilayah Kampung Adat Keputihan yang begitu hijau, karena pohon bambu dan tumbuhan-tumbuhan lainnya subur di kampung tersebut. Rumah yang ada di Kampung Adat Keputihan juga memiliki jarak antara yang satu dengan yang lainnya karena populasinya yang masih sedikit, yakni hanya terdapat sekitar 100 jiwa yang menempati 15 rumah. Sehingga wilayah kampung terlihat asri dan udaranya pun sejuk meskipun para pengunjung datang di siang hari yang terik.

Selain hal-hal diatas, terdapat perbedaan yang paling mencolok dan menjadi pembeda dari Kampung Adat Keputihan jika dibandingkan dengan kampung adat lainnya, yakni rumah yang tidak menggunakan dinding batu bata, jendela yang tidak menggunakan kaca, lantai yang tidak menggunakan keramik, dan atap yang tidak menggunakan genting, atau dengan kata lain rumah-rumah yang ada di Kampung Adat Keputihan tidak menggunakan material permanen seperti rumah-rumah pada umumnya. Keunikan tersebut dilatarbelakangi oleh kepercayaan yang diwariskan oleh penduduk secara turun menurun. Yakni kepercayaan bahwasannya membangun rumah dengan material permanen akan membawa bala atau musibah berupa penyakit.

Kepercayaan masyarakat tersebut semakin diperkuat dengan bukti-bukti yang muncul di lingkungan masyarakat adat tersebut. Seperti yang dituturkan oleh salah satu penduduk bernama Ibu Novi yang telah tinggal selama 8 tahun di Kampung Adat Keputihan ketika ditanya oleh penulis. Beliau mengatakan bahwasannya pernah ada salah satu keluarga yang tinggal di Kampung Adat Keputihan, kemudian mengganti dindingnya ke dinding batu bata. Namun, setelah mengganti dinding rumahnya, salah satu anggota keluarga tersebut meninggal karena sakit-sakitan.

Pada mulanya, material yang digunakan oleh penduduk Kampung Adat Keputihan untuk membangun rumah secara keseluruhan merupakan bahan-bahan dari tumbuhan yang ada di alam. Untuk dinding, masyarakat adat menggunakan tembok bambu, sedangkan untuk atap, masyarakat adat menggunakan daun tebu, dan untuk lantai menggunakan tanah. Namun, seiring berkembangnya waktu dan semakin sulitnya material alami tersebut ditemukan atau dibeli oleh masyarakat, maka rumah di Kampung Adat Keputihan mulai bertransisi ke arah yang lebih modern, yakni untuk dinding beberapa rumah telah menggunakan GRC, sedangkan untuk atap menggunakan seng atau asbes.

Meskipun nilai-nilai adat masih terjaga dengan baik, namun perubahan bentuk rumah adat yang dilatarbelakangi oleh kurangnya material dan mahalnya biaya perawatan seperti yang dirasakan oleh masyarakat Kampung Adat Keputihan sangat disayangkan. Sebab, bentuk arsitektur rumah yang masih menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai materialnya terlihat memiliki nilai estetika yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan rumah berdinding GRC dan beratapkan asbes yang mana lebih sering kita lihat di pemukiman masyarakat non-tradisional atau bukan masyarakat adat. Kemudian, di beberapa bagian jalan kampung adat masih terdapat sampah yang berserakan dan bergeletakan.

Sebenarnya, Kampung Adat Keputihan memiliki potensi yang besar untuk menjadi daerah wisata. Wilayahnya yang masih asri, model arsitektur yang ikonik,  banyaknya keunikan yang terdapat di dalamnya sebagai sebuah kampung adat, serta posisinya sebagai satu-satunya Kampung Adat yang terletak di wilayah Cirebon seharusnya dapat menjadi potensi yang strategis jika dimanfaatkan. Namun, sayangnya hal tersebut belum dapat terealisasi. Padahal, jika Kampung Adat Keputihan dapat dimanfaatkan menjadi sebuah desa wisata edukasi, tentunya hal tersebut akan membawa keuntungan, utamanya bagi masyarakat setempat. Dengan pendapatan desa yang dihasilkan dari pengunjung, maka masyarakat setempat juga dapat melakukan perawatan serta membeli material untuk membangun rumah yang terlihat lebih tradisional seperti pada saat Kampung Adat Keputihan belum bertransisi ke arah yang lebih modern.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun