Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadikan TMII sebagai World Heritage yang Merekat Budaya Bangsa Indonesia dan Menginspirasi Perdamaian Dunia

31 Maret 2015   21:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:43 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PERJUANGAN TMII dalam upaya merekat budaya di Indonesia tidak perlu kita ragukan lagi. Sejak berdiri pada 20 April 1975, para pengelola TMII telah bekerja keras untuk menghidupkan ‘monumen’ Bhinneka Tunggal Ika ini. Taman Mini Indonesia Indah (TMII) telah menjadi ‘rumah budaya’ bagi ratusan suku-bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia.

[caption id="attachment_376033" align="aligncenter" width="378" caption="Danau yang menggambarkan kepulauan Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah (Foto dari http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Mini_Indonesia_Indah)."][/caption]

Di TMII terdapat sinergi budaya warisan leluhur dan budaya modern. Kita dapat menyaksikan: miniatur pulau-pulau Indonesia, replika rumah adat, koleksi-koleksi etnografi, museum dengan arsitektur modern, kereta gantung, Teater IMAX Keong Mas, taman-taman flora dan fauna khas negeri tropis, dan Teater Tanah Airku. TMII merefleksikan konsep diri (self-concept) kolektif masyarakat Indonesia dalam tatanan Bhinneka Tunggal Ika. Di mana, seluruh suku-bangsa Indonesia berjuang untuk hidup harmoni dalam perbedaan. Mencermati kekekayaan budaya dan pesan-pesan toleransi (persaudaraan) yang diabadikan TMII; terlihat jelas bahwa TMII bukan sekadar wisata budaya terlengkap di Indonesia, melainkan memiliki potensi besar menjadi inspirasi dunia untuk mewujudkan perdamaian. Karena itu, TMII sangat layak menjadi salah satu Pusaka Dunia (World Heritage) yang diresmikan UNESCO.

Sayangnya, rentetan konflik internal terus menjamur di Indonesia. Bahkan, Jakarta yang menjadi kawasan tempat berdirinya TMII, merupakan wilayah Indonesia yang paling rentan terjadi konflik SARA (sosial-politik) dan bencana alam. Selain mengakibatkan terdapat naik-turun minat kunjungan ke TMII, hal ini mengindikasikan semangat ‘persatuan dan kesatuan’ dari TMII belum menyatu secara kukuh sebagai jati diri bangsa.

Oleh sebab itu, di usia 40 tahun, TMII masih perlu berinovasi. Agar pesan-pesan persaudaraan dan perdamaian tidak hanya muncul di ‘ruang’ TMII, melainkan menjelma dalam kehidupan nyata rakyat Indonesia dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Sehingga, TMII akan menjadi kebanggaan Indonesia dan menginspirasi masyarakat dunia dalam mewujudkan perdamaian. Implikasinya, peluang TMII menjadi Pusaka Dunia (World Heritage) akan terbuka lebar dan menjadi tujuan wisata unggulan Internasional. Beberapa langkah inovasi yang dapat diselenggarakan TMII antara lain:

Komunikasi Peduli Budaya di TMII

Dalam merekat budaya bangsa, aspek komunikasi merupakan langkah penting yang masih perlu dikembangkan TMII. Agar pengaruh TMII tidak hanya mengakar di Jakarta yang menjadi wilayah tempat berdirinya TMII, melainkan menyebar ke seluruh pelosok Indonesia dan dunia.

Salah satu proses komunikasi yang perlu dikembangkan TMII adalah komunikasi massa. Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukaan oleh Bittner (Rakhmat, 2003: 188), yakni komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Media yang digunakan dalam komunikasi massa lazim disebut ‘media massa’ yang terdiri dari: surat kabar, radio, dan televisi. Seiring dengan pertumbuhan teknologi informasi, internet (media virtual) pun telah bertransformasi menjadi bagian dari komunikasi massa yang populer di kalangan masyarakat urban.

Melihat porsi TMII yang masih minim di ranah media massa, tampaknya inovasi TMII masih perlu dibenahi. Bisa kita lihat sehari-hari, frekuensi milik publik pada ranah media massa, dipenuhi dengan materi yang kontraproduktif dan tidak progresif. Berita kriminal mendominasi materi yang disebarkan. Berita budaya mendapatkan porsi yang sangat minim. Bahkan, keberadaan TMII terbilang langka dalam persebaran informasi. Hal ini berbanding terbalik dengan kegiatan budaya di TMII yang mencapai 500 setiap tahun. Dengan kata lain, kegiatan budaya di TMII melebihi ‘jumlah hari’ dalam setahun, tapi hanya segelintir tersebar melalui media massa.

Kegiatan-kegiatan budaya di TMII yang berpotensi merekat budaya Nusantara dan menjalin Bhinneka Tunggal Ika, tidak diekspos oleh media massa secara utuh dan ‘kalah bersaing’ materi yang berpotensi menstimulasi keretakan-keretakan budaya. Dapat kita saksikan setiap hari, data visual tindakan kriminal dan diskriminasi, disebarkan secara massal dan didramatisir. Radio, televisi, majalah, dan surat kabar; cenderung menjadikan berita kriminal sebagai fokus utama. Bahkan, sebagian besar berita itu mengalami pengualangan berkali-kali. Sebuah stasiun televisi bisa menampilkan sebuah berita kriminal lebih dari lima kali dalam sehari dengan alibi ‘perkembangan informasi’. Sungguh sangat ironis, media massa memilih perkembangan materi berita yang menampilkan ‘runtuhnya moral manusia’ daripada menebarkan informasi kegiatan budaya yang menjalin ‘persatuan dan kesatuan’ di tubuh NKRI. Hal ini mengindikasikan kemunduran bangsa di Indonesia.

Kenyataan tersebut tentu sangat menyedihkan. Minimnya informasi TMII yang menyebar melalui media massa, mengindikasikan bahwa TMII belum menyatu dalam opini publik dan konsep diri (self-concept) kolektif masyarakat.

Sebagai ‘satu-satunya’ sarana wisata budaya yang resmi dan lengkap dalam menyebarkan pesan-pesan Bhinneka Tunggal Ika; TMII perlu membenahi komunikasi massa untuk mendifusikan informasi dan dokumentasi kegiatan budaya secara efektif. Untuk merealisasikannya, TMII dapat menjalin kerja sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pihak TMII bisa menyarankan KPI agar informasi seputar ‘kejahatan’ dikurangi atau diganti dengan informasi kegiatan budaya yang lebih bermanfaat bagi pertumbuhan karakter bangsa. Tentunya, TMII dapat merekomendasikan kegiatan budaya di TMII sebagai materi yang layak untuk dipublikasikan menggunakan media massa.

Bila kerjasama dengan KPI tidak memungkinkan, TMII dapat membentuk media massa secara mandiri. TMII dapat mendirikan stasiun radio, televisi, dan media cetak (surat kabar dan majalah). Melalui media massa mandiri, TMII dapat menyebarkan dokumentasi kegiatan budaya. Diharapkan, distribusi media massa ini dapat menjangkau seluruh pelosok Indonesia khususnya lembaga-lembaga pendidikan. Meskipun tidak semua rakyat Indonesia yang berpartisipasi dalam kegiatan budaya, pesan-pesan perdamaian dan harmoni di tubuh NKRI, dapat disebarkan ke seluruh pelosok negeri. Informasi budaya dari TMII akan menggelinding bagai bola salju. Dengan adanya media massa yang menyebarkan dan mendokumentasikan informasi kegiatan TMII, usaha TMII dalam merekat budaya bangsa tidak hanya dalam ‘ruang TMII’, melainkan tersebar ke seluruh penjuru dunia.

TMII juga perlu memberikan edukasi secara berkesinambungan pada masyarakat luas. Langkah ini dapat berupa penyelenggaraan pemilihan Duta Budaya dan Pariwisata TMII. Sebagian besar Dinas Pariwisata di seluruh penjuru Indonesia mengadakan pemilihan Duta Budaya dan Pariwisata setiap tahun. Bahkan, terdapat Duta Budaya dan Pariwisata untuk tingkat kabupaten. Di sebagian provinsi di Indonesia, terdapat pula Duta Museum. Tapi, sejauh yang penulis amati, belum ada pemilihan Duta Budaya dan Pariwisata TMII. Duta terpilih tentunya memiliki kapasitas intelektual dan wawasan mengenai seluruh budaya di Indonesia.

Tentunya, duta yang terpilih diutamakan dari generasi muda (usia dibawah 35 tahun) yang memiliki energi tinggi dan hasrat untuk merekat budaya Indonesia melalui TMII. Pihak TMII dapat memberikannya fasilitas dalam jangka waktu setahun atau lebih, untuk ‘dinas’ di TMII. Duta ini tidak hanya membantu TMII dalam edukasi pada masyarakat di kawasan Jakarta, melainkan Nasional. Duta ini dapat didukung untuk mengadakan perjalanan budaya dan mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan dan instansi pariwisata (budaya) di Nusantara. Langkah ini akan memudahkan TMII untuk menjalin komunikasi (dialog) dengan masyarakat luas, memperteguh efektivitas TMII dalam memberikan edukasi bagi masyarakat, dan memperluas jangkauan informasi. Dengan luasnya informasi menyangkut TMII, angka kunjungan ke TMII akan meningkat dan semakin efekif pula upaya TMII merekat budaya bangsa.

Selanjutnya, masyarakat luas sebaiknya dilibatkan dalam upaya untuk memperteguh usaha TMII guna merekat budaya Indonesia. Tanpa dukungan masyarakat, TMII akan sulit untuk berkembang dan sejajar dengan destinasi wisata budaya terbaik di dunia. Geliat TMII perlu diperluas dan dikukuhkan dengan pendirian komunitas (extended into the community). Karena itu, TMII perlu mendirikan ‘komunitas TMII’ yang berfungsi memberi jembatan komunikasi TMII dengan masyarakat luas. Melalui komunitas (klub) ini, TMII dapat menyebarkan informasi untuk menjadikan TMII sebagai bagian gaya hidup dan konsep diri (self-concept) kolektif masyarakat. Pengaruh nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika yang disebarkan TMII dapat melekat (embedded) sebagai jati diri bangsa.

Komunitas TMII bisa melibatkan warga Jakarta dan dibentuk untuk mengikuti kegiatan-kegiatan budaya yang diselenggarakan TMII. Tentunya, komunitas ini mendapatkan kemudahan fasilitas dari TMII. Misalnya, mendapat ‘potongan harga’ dan mendapatkan voucher (merchandise) TMII.

Komunitas TMII berfungsi untuk menyebarkan pesan-pesan Bhinneka Tunggal Ika yang mereka dapatkan di TMII ke masyarakat luas. Komunitas TMII dapat menyelenggarakan talk show, penulisan buku (ensiklopedi TMII), kampanye peduli budaya, seminar, dialog dengan para pelajar di lembaga pendidikan, dialog dengan praktisi pendidik (tokoh masyarakat), dan bakti sosial. Sehingga, jangkauan TMII dalam upaya merekat budaya bangsa, bisa melampaui ‘ruang’ TMII sendiri. TMII tidak lagi turun ke masyarakat luas ketika ada seremoni tertentu (seperti peringatan Hari Ulang Tahun TMII), melainkan menyatu dengan kehidupan masyarakat sepanjang waktu. Secara tidak langsung, komunitas TMII telah berfungsi sebagai tenaga promosi dan sangat bermanfaat dalam pengembangan TMII.

Seiring perkembangan zaman, masyarakat memiliki kebutuhan yang bervariasi atau berbeda. Karena itu, kegiatan-kegiatan TMII perlu lebih inovatif dan memiliki perbedaan (tema) setiap tahun. Sehingga, kegiatan budaya yang diselenggarakan TMII, memiliki keunikan dan kebaruan (novelty) dari waktu ke waktu. Dengan demikian, pengunjung yang pernah mengunjungi TMII, akan tergerak untuk mengunjungi TMII kembali. Dan masyarakat Indonesia (global) yang belum pernah mengunjungi TMII akan tergerak untuk mengunjungi TMII dan berperan serta dalam kegiatan budaya.

Melalui pengembangan komunikasi dalam peningkatan kualitas TMII, masyarakat dapat menyampaikan aspirasi dan menerima edukasi mengenai budaya Indonesia. Sehingga, strategi pengembangan TMII bisa terus beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dan dunia.

Potensi Sinematografi (Perfilman)

Selain media massa konvensional (media cetak dan media eletronik), terdapat pula media massa yang menggabungkan berbagai unsur seni dan teknologi untuk merekat budaya, yaitu: sinematografi. Korea merupakan negara yang memanfaatkan potensi sinematografi dalam meningkatkan rasa cinta pada wisata (budaya) lokal. Hal ini juga didukung pemerintah dalam memajukan per-film-an. Negara Korea memberi subsidi yang besar untuk kemajuan sinematografi. Korea pun memiliki lembaga pendidikan (universitas) terbaik dalam pengajaran dan memberikan keahlian sinematografi. Melalui produk sinematografi (berupa film, telenovela, dan drama), budaya dan wisata Korea terangkat ke ranah publik Internasional.

TMII perlu mengikuti jejak langkah Korea dalam mentransformasikan budaya ke ranah sinematografi (film). Melalui film, segala elemen budaya yang membangun TMII (seni, sains, dan teknologi) dapat berpadu membentuk produk informasi berkualitas tinggi dan didistribusikan secara global. Kombinasi elemen budaya ini yang disinergikan dengan teknologi mutakhir, membuat proses pembentukan ‘kesan’ melalui film, jauh lebih mendalam daripada atraksi budaya yang diabadikan dalam ‘dokumenter’ dan kamera (foto). Sehingga masyarakat Indonesia tidak hanya menjadikan TMII sebagai alternatif rekreasi, melainkan mencintai dan menjadikan pesan-pesan Bhinneka Tunggal Ika sebagai konsep diri (self-concept) kolektif.

Untuk mentransformasi informasi TMII ke ranah sinematografi, TMII dapat bekerja sama dengan sineas muda. Langkah ini dapat diawali dengan produksi film pendek. Dalam perkembangan sinematografi dewasa ini, keberadaan film pendek memiliki posisi yang cukup penting. Biaya produksi rendah dan distribusi pun tidak kalah saing dengan film berdurasi panjang. Dapat kita saksikan film pendek yang didistribusikan di internet (youtube). Tidak sedikit film pendek (berdurasi sekitar 10 atau 15 menit) ditonton 5000 pengguna jasa jaringan internet. Bahkan, tidak sedikit film pendek yang diakses lebih dari 1 juta pengguna internet. Film pendek juga merupakan alternatif untuk mengatasi hambatan dana dan proses produksi yang rumit dalam menetaskan film berdurasi panjang.

Bila memungkinkan, TMII dapat membentuk produksi film yang mengangkat budaya-budaya di TMII. Film akan membuat pesan-pesan perdamaian, toleransi, dan Bhinneka Tunggal Ika dari TMII; lebih nikmat dan menimbulkan kesan yang mendalam. Sehingga, TMII tidak hanya dikenal dan dicintai rakyat Indonesia, tapi juga merambah dunia global. Implikasinya, TMII dapat melangkah untuk sejajar dengan destinasi wisata budaya negara-negara maju.

Pengembangan Budaya Literasi

Budaya literasi adalah sebuah langkah untuk merekatkan budaya bangsa Indonesia. Secara sederhana, budaya literasi bisa kita asumsikan sebagai tradisi membaca dan menulis. Pada ruang yang lebih luas, budaya literasi berkorelasi erat dengan apresiasi bahasa dan sastra yang melibatkan proses kreatif dan inovatif.


Budaya literasi tidak hanya meliputi dimensi realitas yang dibentuk konstruksi lambang-lambang fonetik, melainkan merambah pada ranah spiritual dan dimensi kontemplasi. Lebih signifikan lagi, kita tidak hanya membaca teks (bahasa) semata, tapi juga dituntun untuk berpikir holistik. Langkah inilah yang telah digunakan para intelektual Indonesia di masa lalu. Tidak mengherankan, tercipta kitab-kitab bernilai sastra tinggi di masa lalu, seperti Sutasoma karya Mpu Tantular yang menjadi ‘sumber kelahiran istilah’ Bhinneka Tunggal Ika.

Bahasa dan sastra merupakan elemen dasar budaya literasi yang membentuk imaji sebuah bangsa. Negara-negara yang memiliki kebudayaan maju, selalu memajukan budaya literasi, seperti China dan Jepang. Generasi muda kedua negara ini, terus mempelajari warisan budaya literasi berabad-abad lampau. Sehingga, generasi muda China dan Jepang, memiliki kesadaran Nasionalisme yang sangat tinggi. Tingkat kesetiaan rakyat kedua bangsa ini pada negara bisa disebut luar biasa. China dan Jepang termasuk negara yang tengah berada di Zaman Emas yang maju dalam teknologi-industri dan politik. Demikian pula ‘Indonesia di masa lalu’ (Nusantara), kemajuan di bidang bahasa dan sastra memiliki relasi yang sangat signifikan di bidang teknologi dan industri. Bisa kita lihat dari arsitektur rumah adat di TMII. Setiap satu meter bangunan rumah adat tersebut, memiliki filosofi yang merepresentasikan kemajuan peradaban masa lampau. Lumbung padi (rakiang) di rumah adat Sumatera Barat (Rumah Gadang) merupakan cerminan bahwa masyarakat Minangkabau di masa lalu sangat maju dalam pertanian dan mencapai swasembada beras.

[caption id="attachment_376034" align="aligncenter" width="480" caption="Anjungan Sumatera Barat TMII. Lumbung padi (rakiang) terletak di badian depan rumah adat (Rumah Gadang) menyerupai Rumah Gadang dalam bentuk kecil (Foto dari http://www.tamanmini.com/anjungan/anjungan-sumatera-barat)."]

1427814138911475715
1427814138911475715
[/caption]

Ironisnya, Indonesia Pasca Kemerdekaan, bisa disebut negara yang ‘mengalami kemunduran’ dalam budaya literasi. Jauh berbeda dengan China, Jepang, dan ‘Indonesia sebelum kemerdekaan’. Kini, kita cenderung mempersepsikan bahasa yang mulai diresmikan pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, sebagai bahasa Indonesia. Paradigma ini memengaruhi bahasa dan sastra Indonesia dalam pendidikan konvensional.

Dalam pandangan penulis, ‘Bahasa Indonesia’ yang dimaksud dalam momen Hari Sumpah Pemuda adalah ‘lingua franca’ atau ‘bahasa penghubung/pemersatu’. Di masa itu, bahasa Indonesia khusus ‘lingua franca’ memang dibutuhkan pada masa pembentukan Indonesia (terdiri dari ratusan suku-bangsa) dan melebur kesadaran primordial. Tapi ‘tidak’ sesuai lagi dengan konteks kemerdekaan.

Dalam konteks kemerdekaan, Bahasa Indonesia yang ideal adalah gabungan bahasa Indonesia ‘lingua franca’ dengan ‘bahasa daerah’ yang digunakan suku-bangsa di Indonesia. Porsi penggunaan dan pelestariannya harus seimbang. Bahasa Indonesia ‘lingua franca’ berfungsi sebagai ‘penjalin komunikasi’ dalam transfer ilmu pengetahuan di lembaga-lembaga pendidikan dan penjalin komunikasi antara suku-bangsa yang memiliki perbedaan bahasa. Sedangkan penggunaan ‘bahasa daerah’ berfungsi menjaga budaya (tradisi) warisan leluhur. Sebab, budaya (tradisi) warisan leluhur menggunakan ‘bahasa daerah’ sebagai medium komunikasi, sebagaimana ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang lahir dari rahim ‘bahasa sanskrit’.


Dewasa ini, penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia ‘lingua franca’ jauh melampaui bahasa Indonesia ‘daerah’. Bahkan, bahasa Indonesia ‘lingua franca’ cenderung dipersepsikan sebagai bahasa Indonesia yang sejati. Padahal literatur ‘sastra Indonesia lingua franca’ masih sangat muda atau dimulai masa pemerintahan Hindia-Belanda dengan keberadaan lembaga penerbitan Balai Pustaka (Commissie voor de Volkslectuur) pada 14 September 1908. Bila bahasa dinilai sebagai indikasi kemajuan peradaban, maka peradaban Indonesia dimulai pada kemunculan bahasa Indonesia ‘lingua franca’ dari rumpun bahasa Melayu, yaitu sekitar abad ke-18 dengan 68 tahun usia kemerdekaan. Bandingkan dengan China dan Jepang yang mempertahankan bahasa dan sastra lokal sejak masa ‘Sebelum Masehi’.

Tidak mengherankan, Jepang dan China masuk dalam jejeran Negara Maju, meninggalkan Indonesia yang bertahan di barisan Negara Berkembang. Penafsiran ‘budaya lingua franca’ yang keliru dimaknai sebagai ‘budaya Indonesia’, mengakibatkan kepunahan budaya bahasa dan sastra Indonesia ‘daerah’. Realitasnya dapat kita jumpai dari tingkat kemampuan generasi muda dalam penggunaan bahaya daerah yang semakin menurun dari tahun ke tahun.

TMII perlu mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia ‘daerah’. Agar dominasi bahasa dan sastra Indonesia ‘lingua franca’ tidak mengikis budaya (tradisi) literasi warisan leluhur (lazim disebut bahasa dan sastra daerah). Untuk mengimplementasikan pengembangan budaya literasi warisan leluhur, TMII perlu mendirikan perpustakaan khusus. Di perpustakaan ini, TMII dapat mengumpulkan literatur dari berbagai daerah. Tentunya, perlu kemasan yang sesuai dengan konteks zaman sekarang. Apalagi minat generasi muda untuk mempelajari dan mengembangkan bahasa dan sastra daerah bisa disebut sangat rendah.

Bila TMII mengembangkan budaya literasi, pengadaan literatur bahasa dan sastra daerah, sebaiknya dilengkapi dengan terjemahan dalam bahasa dan sastra ‘lingua franca’. Pengunjung TMII dapat mempelajari naskah dari teks bahasa asli (daerah) dan terjemahan dalam bahasa ‘lingua franca’. Perlu juga dikembangkan edukasi bahasa dan sastra daerah. TMII dapat menyelenggarakan budaya (tradisi) dengan penggunaan bahasa dan sastra daerah yang dibuka bagi masyarakat umum, seperti: kompetisi ‘penulisan’ karya sastra dengan menggunakan bahasa daerah (drama, puisi, cerita pendek, dan dongeng) dan kompetisi penggunaan bahasa daerah yang melibatkan seni suara (teater, drama, nyanyian, dan pantun).

Keberadaan literatur bahasa dan sastra daerah juga perlu dilengkapi praktisi yang menguasai literatur-literatur tersebut. Misalnya, ketika melakukan riset literatur mengenai budaya Jawa, pengunjung juga bisa menjumpai secara langsung ahli (praktisi) yang bisa berdiskusi (dialog) mengenai budaya yang dicarinya. Akan lebih indah lagi bila TMII menyediakan tenaga ahli untuk mengajarkan ‘berbagai bahasa daerah’ pada pangunjung.

Bila pengadaan praktisi ‘penuh waktu’ tidak memungkinkan, TMII dapat menyelenggarakan dialog dengan praktisi (budayawan atau ahli budaya) secara reguler (setiap bulan atau setiap minggu). Perpustakaan perlu juga dilengkapi dengan literatur dengan kemasan audio-visual. Sehingga pengunjung dapat mengamati secara langsung dan mempelajari budaya-budaya literasi Indonesia.

TMII juga bisa menyelenggarakan festival bahasa dan sastra sebagaimana Bali yang menyelenggarakan ‘Ubud Writers and Readers Festival’. Bahkan, festival sastra ini merupakan salah satu ikon Pulau Bali. Dalam festival bahasa dan sastra; TMII dapat mengundang penulis, praktisi (akademisi) sastra, dan peminat sastra. Langkah ini akan mendorong keberadaan TMII menjadi ruang publik yang membuka kesempatan bagi masyarakat Indonesia dan dunia; dalam menggali dan melestarikan kekayaan budaya (tradisi) warisan leluhur. Jadi, apresiasi (aksi atau ekspresi) budaya tidak lagi didominasi praktisi yang diundang (bekerjasama) dengan TMII, melainkan masyarakat umum. TMII tidak hanya merekat budaya dengan dominasi penggunaan ‘lingua franca’, melainkan mengangkat kepingan-kepingan substansi budaya (tradisi) warisan leluhur yang esensial.

Menuju World Heritage

Untuk mewujudkan TMII sebagai Pusaka Dunia (World Heritage), TMII perlu berkaca pada kemajuan wisata budaya di negara maju. Meskipun masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengunjungi TMII, TMII tetap termasuk dalam jejeran primadona industri wisata budaya di Tanah Air. Tapi, beda cerita bila kita jejerkan TMII dengan destinasi wisata global. Bahkan, TMII belum bisa disebut sejajar dengan destinasi wisata di Singapura dan Perancis. Kedua negara ini mampu mengembangkan wisata sesuai kebutuhan masyarakat global dan perkembangan zaman.

Pemerintah Singapura menyadari negaranya tidak memiliki kekayaan panorama alam dan kekayaan budaya sebagaimana Indonesia. Tapi, pemerintah Singapura dapat membaca orientasi pasar industri pariwisata dunia. Untuk mengatasi keterbatasan ini, pemerintah Singapura mengembangkan wisata yang mengangkat teknologi mutakhir, transportasi yang efektif, sangat tertata dan bersih, serta memiliki fasilitas canggih.

Di sisi lain, TMII jauh lebih memikat dibandingkan destinasi wisata di seluruh pelosok Singapura. TMII mampu menampilkan toleransi dan persaudaraan ratusan suku-bangsa di Indonesia yang multibudaya. Tapi, keberadaan TMII belum sinergis dengan lingkungan sekitarnya terutama untuk transportasi, sebagaimana Singapura. Jasa angkutan umum menuju TMII masih dibayang-bayangi kemacetan. Lingkungan Jakarta yang mengepung TMII juga masih diwarnai limbah, polusi, dan bangunan-bangunan liar tumbuh dari tahun ke tahun. Hal ini mengindikasikan, keindahan TMII belum menyatu dengan tata kota dan lingkungan sekitarnya, seperti Singapura. Selain menyebabkan laju kendaraan terhambat, bangunan-bangunan tersebut mengganggu serapan air. Banjir akan terus terjadi di Jakarta setiap musim penghujan. Implikasinya, sepanjang banjir atau musim penghujan, angka kunjungan ke TMII rentan mengalami penurunan.

Lebih jauh lagi, kita dapat membandingkan TMII dengan keberadaan kawasan wisata di Perancis. Bila Singapura menjadikan menjadikan teknologi mutakhir sebagai ‘nilai jual’ industri wisata, maka Perancis mengandalkan warisan peradaban masa lampau. Bahkan, Perancis bisa disebut negara yang paling identik dengan Indonesia secara historis. Di mana Perancis sangat menghargai warisan budaya leluhur. Bangunan-bangunan yang berusia berabad-abad masih berdiri megah sampai sekarang seperti: Le Grand Palais et le Petit Palais, Avenue des Champs-Elysées, Place de la Bastille, Notre-Dame de Paris, dan Quartier Latin. Bangunan-bangunan ini berdiri megah selama berabad-abad. Bahkan, Quartier Latin yang menjadi pusat pendidikan abad ke-12, masih berdiri megah. Jadi, wahana wisata budaya benar-benar menyatu dan sinergis dengan tata kota. Dari tahun ke tahun, Perancis hanya semakin tertata dan bersih, serta nyaris tidak ada bangunan yang tumbuh liar seperti di Jakarta. Tidak mengherankan, kunjungan wisata ke Perancis (Singapura) dinilai prestisius, tidak terjebak macet ataupun banjir.

Untuk memajukan TMII sebagai pusat wisata budaya terbaik di Indonesia dan menjadi Pusaka Dunia (World Heritage), pengelolaan TMII harus bekerja sama dengan pemerintah DKI Jakarta. Tata kota dan transportasi segera dibenahi. Sehingga, pengunjung dapat menggunakan sarana transportasi dengan lancar dan jauh dari ancaman banjir.

Selain mengupayakan keberadaan TMII yang harmoni dengan tata kota Jakarta, TMII perlu juga mengembangkan dan meningkatkan mutu (keahlian) SDM yang mengelola TMII. Dengan kata lain, SDM di TMII perlu pemberdayaan (empowered). Para pengelola sebaiknya diberi pendidikan (pelatihan) khusus untuk terus mengembangkan potensi dan kualitas diri. Selain mendapatkan gaji yang pantas, seluruh pengelola layak mendapatkan pendidikan (pelatihan) setara dengan pengelola destinasi wisata di negara-negara maju. Bahkan, tukang sapu atau petugas kebersihan pun perlu mendapatkan pendidikan (pelatihan) khusus di bidang profesinya. Sehingga, ia akan bekerja dengan totalitas, percaya diri, dan yakin bahwa tugasnya tidak lebih rendah dibandingkan pengelola lain. Hasil pekerjaannya tentu akan jauh lebih berkualitas, sebagaimana hasil pekerjaan petugas kebersihan di Singapura. Bahkan, roti terjatuh pun akan kena denda di Singapura. Profesionalitas SDM inilah yang masih perlu ditingkatkan di TMII.

Untuk meningkatkan mutu SDM, TMII dapat mendirikan lembaga pendidikan khusus untuk mengelola TMII, seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Melihat potensi yang dimiliki TMII, pendirian SMK khusus untuk pengembangan TMII, tidak mustahil untuk diwujudkan. Agar semua pengelola TMII dapat menjalankan tugas dengan profesional dan bangga menjalani tugasnya. Bila memungkinkan, TMII dapat mengirim para pengelola untuk menjalani pendidikan (pelatihan) khusus di negara-negara yang terkenal dengan wisata, termasuk Singapura dan Perancis.

Dapat kita simpulkan: selain merekat budaya bangsa Indonesia, TMII memiliki potensi besar untuk menjadi Pusaka Dunia (World Heritage). Untuk menuju jenjang World Heritage yang diakui UNESCO, pengelola TMII perlu memberdayakan para tenaga pengelola dengan memberikan pendidikan (pelatihan) khusus. Sehingga, mutu pelayanan setara dengan negara-negara maju. TMII perlu pula memiliki media massa yang menyebarkan informasi kegiatan TMII dan mendapat dukungan komunitas. Budaya literasi pun perlu dikembangkan sebagai indikator kemajuan zaman. Agar TMII tidak hanya menjadi ‘rumah’ yang merekat budaya suku-bangsa Indonesia, melainkan menjadi tujuan wisata global dan menginspirasi masyarakat dunia dalam mewujudkan perdamaian abadi. [...]

Referensi:
Karlinah, Siti. (2008). Komunikasi Massa. Jakarta: Universitas Terbuka.
Kidder, K. 1995. How Good People Make Tough Choices. New York: Morrow.
Latif, Yudi. 2009. Menyemai Karakter Bangsa. Jakarta: Kompas.

Oleh. SULFIZA  ARISKA

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun