Dibalik cerita tentang masa lalu Poso, Sulawesi Tengah yang mencerai-beraikan kehidupan bermasyarakat akibat konflik beberapa tahun silam, ada sepenggal kisah sederhana yang tak menggoyahkan harmonisasi ditengah konflik kala itu yang hanya sedikit masyarakat mengetahuinya karena harmoni itu tercipta diluar ruang seremonial tanpa tepuk tangan dan publikasi. Ya? harmoni lewat secangkir kopi, dan warung kopi yang berdiri sejak tahun 1935 di kelurahan Bonesompe, Poso Kota itulah saksinya.
Malam Senin yang kelam, dipertengahan Mei yang galau ini, duduk dikursi bagian pojok bersama beberapa teman, beberapa orang lainnya telah menguasi meja tengah, duduk saling berhimpitan mengelilingi meja segi empat yang diatasnya ada delapan gelas kopi kental ditemani secuil roti bakar diatas lepek, orang-orang itu terus menyeruput kopi-kopi hangat mereka seraya terus bercakap-cakap, bebas bicara tanpa interupsi, betah duduk berjam-jam diruang 7x7 meter yang terdapat tujuh meja itu mereka bicara apa adanya tentang politik kekinian.
Sementara di meja sebelahnya dipojok dekat pintu masuk, empat laki-laki paruh baya dan dua orang anak muda wajah baru yang mengelilingi meja yang diatasnya kopi-kopi kental itu, juga punya cerita lain yang tak kalah seru yang sesekali diiringi renyanya tawa. Agaknya diskusi mereka lebih ringan daripada mereka di meja tengah yang lebih berat karena membahas politik. Cerita orang-orang dimeja pojok dekat pintu masuk itu menarik diikuti, mereka bercerita tentang masa lalu Poso yang penuh duka namun ada juga ada sekelumit kisah lucu, kisah tentang orang-orang yang berjuang saling menyelamatkan, membantu dan tetap menjaga perdamaian.
“Poso Kota dahulu sebelum konflik sebagai Kota Citra yang disingkat cantik, indah, tentram, ramah, tapi sejak konflik di plesetkan menjadi cerita indah tentang rumah angus,” kata Budi menceritakan pada anak-anak muda yang baru beberapa bulan ini berada di Poso. Sepertinya mereka pegawai yang baru ditempatkan di Poso serasa perlu mendengar banyak cerita tentangnya.
“Meskipun waktu itu antara tahun 2001-2005 situasi Poso masih terus memanas, teror disana sini, terjadi pengungsian, tapi herannya, siapapun mereka, dari manapun dan apapun agamanya mereka yang minum atau sekedar nongkrong ke warung kopi ini tidak ada yang ganggu,” ungkap Mamat. Bahkan, sesama orang Islam dan kristen waktu itu masih bisa duduk satu meja, minum kopi sama-sama, diskusi.
Yang menakjubkan lagi, pemilik warung kopi bernama Lee keturunan Tionghoa, pemeluk Kristen tinggal dipemukiman Muslim. Diwarung Kopi atau warkop simpati itulah harmoni terjaga, warkop yang terletak dibilangan komplek pertokoan kelurahan Bonesompe, Kecamatan Poso Kota itu memang beda, selain memiliki cita rasa yang khas, warkop simpati juga menyimpan sejarah panjang perjalanan di kota tua ini.
Aco salah satu warga Poso menceritakan, saat pecah konflik Poso tahun 1998 terjadi pengungsian besar-besaran termasuk pemilik warung kopi simpati dan warga di kompleks pertokoan Bonesompe yang memilih mengungsi di Palu. Setelah tiga tahun paska pecahnya konflik, banyak warga yang mulai kembali ke rumahnya di Poso dalam kondisi yang serba kekurangan.
Namun saat itu ada yang terasa hilang, tidak ada tempat warga berkumpul, duduk dalam satu meja, ditemani secangkir kopi seperti masa-masa harmonis dahulu. “Iya, dimana warkop simpati punya Lee, tidak cuma warga Muslim, teman-teman warga Kristen yang datang ke kota juga mencarinya, mau ngobrol sama-sama sambil minum kopi,” ungkap Aco.
Rupanya Lee yang juga mengungsi di Palu waktu itu masih enggan kembali karena takut. Tapi beberapa warga Kota Poso terutama mereka yang Muslim terus memohon Lee agar kembali ke tanah kelahirannya untuk membuka kembali warung kopinya. “Waktu itu teman-teman Muslim ajak Lee kembali dengan jaminan semua akan menjaganya sampai akhirnya dia mau kembali dan membuka lagi warkopnya,” ujar Aco.
Lee bersama beberapa kerabatnya yang kembali pulang secara perlahan-lahan kembali menata warkopnya yang berada di deretan ruko itu tanpa ada sedikitpun rasa takut setelah mendapat jaminan keamanan dari warga. “Semua yang ada di Bonesompe ini saya kenal bahkan sudah seperti saudara,” ujar Lee ketika pertama kali menetapkan hati untuk membuka kembali warkopnya di Poso.
Saat pertama kali dibuka baru beberapa orang yang ngopi sambil membahas masalah Poso. Singkat cerita, berita di bukanya kembali warkop simpati mulai terdengar dari mulut ke mulut sampai-sampai beberapa warga Kristen dari Desa Tagolu, Ranonuncu, Kawua dan beberapa desa lainnya mulai berani datang ke Kota Poso di warung kopinya demi menikmati secangkir kopi bersama warga Muslim lainnya. Padahal, waktu itu, kurun tahun 2001-2005 situasi keamanan Poso masih panas, terjadi gejolak di sana-sini, pengungsi belum sepenuhnya kembali.