Antaka Pura -- Istana Kematian di Gunung Kelir
Angin malam berhembus lembut di alun-alun Mataram. Gamelan berbunyi lirih, mengiringi pertunjukan wayang gedog yang dipimpin oleh seorang dalang bernama Ki Panjang Mas. Di sampingnya duduk seorang perempuan jelita, Retno Gumilang, yang dikenal masyarakat sebagai Ratu Malang karena kecantikannya yang anggun namun berwajah sendu, seolah menyimpan duka yang tak bertepi.
Malam itu, Raja Amangkurat I hadir di antara para tamu. Tatapan matanya tajam dan berwibawa, namun ketika melihat sosok Retno Gumilang di panggung, pandangannya luluh.
Rembulan di langit seperti berhenti bernafas; seakan ikut menyaksikan pandangan pertama yang akan mengubah segalanya.
 "Siapa perempuan itu?" bisik sang raja kepada patihnya.
"Hamba, Paduka. Ia istri dalang itu---Retno Gumilang namanya," jawab sang patih pelan.
"Retno Gumilang..." gumam raja. "Namanya seindah wajahnya."
Pertunjukan berakhir dengan tepuk tangan panjang. Ki Panjang Mas dan istrinya bersujud di hadapan raja. Namun dari sinar mata sang penguasa, Retno Gumilang menangkap sesuatu---bukan sekadar kekaguman, tapi keinginan yang berbahaya.
 "Dalang Panjang Mas," ucap Amangkurat I lembut tapi tegas, "pertunjukanmu indah. Namun yang lebih memesona adalah sang istri. Serahkan dia pada beta. Ia pantas menjadi penghuni istana Mataram."
Ki Panjang Mas mendongak, wajahnya pucat.
> "Ampun, Gusti... Retno Gumilang adalah istri hamba. Hamba mohon, jangan ambil yang menjadi nyawa hamba sendiri."
Keheningan menegang. Tatapan raja mengeras, menjadi dingin seperti baja.
"Kau menolak perintah raja?"
 "Hamba hanya manusia, Gusti. Tapi cinta hamba kepada Retno Gumilang lebih tinggi dari singgasana mana pun," jawab Ki Panjang Mas dengan suara bergetar namun teguh.